"Lihatlah, biarlah malam itu lenyap, malam di mana aku dilahirkan, dan juga malam di mana dikatakan: Seorang anak laki-laki telah dikandung!"
Ayat ini berasal dari Kitab Ayub, sebuah narasi yang menggali kedalaman penderitaan dan pertanyaan eksistensial. Ayub, seorang tokoh saleh, mendapati dirinya dilanda malapetaka yang tak terbayangkan. Kehilangan harta benda, anak-anak, dan kesehatannya, ia terperosok dalam kesedihan yang mendalam. Dalam momen keputusasaan ini, Ayub mengeluarkan ratapan yang sangat emosional, meragukan keberadaan dan makna kelahirannya sendiri. Ia bahkan berharap malam kelahirannya bisa dilupakan atau tidak pernah terjadi sama sekali.
"Lihatlah, biarlah malam itu lenyap, malam di mana aku dilahirkan, dan juga malam di mana dikatakan: Seorang anak laki-laki telah dikandung!" (Ayub 3:7)
Ungkapan Ayub ini bukanlah semata-mata keluhan sesaat, melainkan manifestasi dari pergulatan batinnya yang ekstrem. Ia mempertanyakan mengapa ia harus mengalami penderitaan yang begitu berat, seolah-olah kelahirannya sendiri adalah sumber dari segala kesakitannya. Pikirannya tertuju pada momen awal keberadaannya, berharap bisa menghapus jejak kelam tersebut agar penderitaan saat ini tidak pernah menyentuhnya. Kata-kata ini menggambarkan rasa sakit yang begitu pekat sehingga membuat seseorang ingin menarik kembali eksistensinya.
Dalam konteks yang lebih luas, Ayub 3:7 menyoroti aspek kemanusiaan yang rentan terhadap keputusasaan. Ketika badai kehidupan menerpa dengan keras, naluri manusia sering kali mencari penjelasan atau bahkan "penyebab" dari penderitaan tersebut. Bagi Ayub, di tengah teror yang melandanya, hari kelahirannya menjadi simbol awal dari perjalanan hidup yang ternyata penuh dengan luka dan kesedihan. Ia meratapi titik awal tersebut, sebuah titik yang seharusnya menjadi awal kegembiraan, namun dalam pengalamannya justru menjadi awal dari sebuah tragedi.
Penting untuk memahami bahwa ratapan Ayub bukanlah pengingkaran terhadap Tuhan atau iman. Sebaliknya, ini adalah ekspresi jujur dari rasa sakit yang tak tertahankan dan pertanyaan-pertanyaan mendalam yang muncul ketika seseorang berhadapan dengan penderitaan ekstrem. Ia mengungkapkan perasaannya apa adanya kepada Tuhan, sebuah bentuk kejujuran dalam menghadapi kesulitan. Ayat ini mengingatkan kita bahwa dalam menghadapi penderitaan, adalah wajar untuk bergumul, bertanya, dan bahkan meragukan. Namun, di balik ratapan tersebut, sering kali terselip harapan untuk menemukan kembali makna dan kedamaian, sebuah proses yang akan terus dijalani Ayub dalam narasi selanjutnya.
Kutipan Ayub 3:7 ini menjadi pengingat akan kompleksitas emosi manusia saat menghadapi cobaan. Ini adalah bagian dari perjalanan Ayub yang penuh dengan perjuangan, pertanyaan, dan akhirnya, penemuan kembali iman dan pemahaman.