Ayub 32:6

"Lalu Elihu bin Barakel orang Bus itu mulai berbicara, katanya: ‘Aku masih muda, dan kamu sudah tua; oleh karena itu aku merasa takut dan sungkan untuk menyatakan pendapatku kepadamu."

Hikmat

Simbol kebersamaan dan pembelajaran.

Firman Tuhan dalam Kitab Ayub, pasal 32 ayat 6, memberikan sebuah pandangan yang menarik tentang dinamika komunikasi, khususnya antara generasi muda dan tua. Elihu, seorang tokoh yang usianya jauh lebih muda dari para sahabat Ayub yang lebih tua, menyuarakan keraguannya untuk berbicara. Ia mengakui bahwa perbedaan usia dan pengalaman membuatnya merasa gentar, sebuah sikap yang patut direfleksikan dalam berbagai konteks kehidupan modern. Di era yang serba cepat ini, seringkali kita melihat sebaliknya; kaum muda yang merasa lebih tahu dan kurang menghargai kearifan yang dimiliki generasi sebelumnya.

Namun, inti dari perkataan Elihu bukanlah semata-mata tentang rasa takut, melainkan tentang kesadaran akan pentingnya sikap hormat dan kehati-hatian dalam menyampaikan pandangan. Ia tidak menolak untuk berbicara, tetapi ia memilih untuk memulai dengan mengakui posisinya. Sikap ini menunjukkan kedewasaan yang luar biasa, melampaui usianya. Elihu memahami bahwa hikmat tidak selalu berbanding lurus dengan usia, tetapi ia juga menyadari bahwa pengalaman yang telah dilalui oleh para tetua membawa bobot dan perspektif yang tidak bisa diabaikan. Ia ingin berbicara dengan bijak, bukan dengan gegabah.

Kisah Elihu mengajarkan kita bahwa komunikasi yang efektif seringkali membutuhkan keseimbangan antara keberanian untuk berpendapat dan kerendahan hati untuk mendengarkan. Terlalu sering, debat publik atau bahkan diskusi keluarga menjadi ajang adu ego, di mana usia atau pengalaman dianggap sebagai modal utama untuk memenangkan argumen. Elihu, sebaliknya, memulai diskursusnya dengan mengakui bahwa ia adalah "masih muda," sebuah pengakuan yang justru membuka jalan baginya untuk didengarkan, karena ia tidak memposisikan dirinya sebagai superior.

Lebih dalam lagi, ungkapan Elihu menggarisbawahi bahwa sumber hikmat itu sendiri dapat datang dari mana saja. Meskipun ia merasa tidak sepantasnya berbicara karena usianya yang muda, justru dari mulutnyalah kemudian muncul pemahaman baru mengenai penderitaan Ayub dan keadilan Tuhan. Ini adalah pengingat bahwa Tuhan dapat menggunakan siapa saja, tanpa memandang usia atau latar belakang, untuk menyampaikan kebenaran-Nya. Generasi muda memiliki potensi inovasi, perspektif segar, dan energi yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan zaman, sementara generasi tua memiliki kedalaman pengalaman, pemahaman historis, dan ketekunan yang tak ternilai.

Dalam konteks kekinian, pesan dari Ayub 32:6 sangat relevan. Kita perlu membangun jembatan komunikasi antar generasi, bukan tembok pemisah. Kaum muda perlu belajar untuk menghargai dan belajar dari pengalaman generasi yang lebih tua, sambil tetap berani menyuarakan ide-ide baru mereka dengan cara yang sopan dan konstruktif. Sebaliknya, generasi yang lebih tua juga perlu membuka telinga dan hati mereka untuk mendengarkan perspektif generasi muda, mengakui bahwa zaman terus berubah dan solusi-solusi baru mungkin diperlukan. Ketika rasa hormat dan kerendahan hati menjadi dasar komunikasi, hikmat sejati, yang melampaui batas usia, dapat mengalir dan membawa kebaikan bagi semua. Ini adalah panggilan untuk dialog yang lebih bijak, di mana setiap suara dihargai dan setiap pelajaran berharga.