"Dengarkanlah aku, hai kamu yang bijaksana! Jauhlah dari Allah perbuatan jahat, dan dari Yang Mahakuasa kesalahan."
Ayub 34:10 adalah sebuah seruan yang tegas namun penuh kebijaksanaan. Ayat ini muncul dalam konteks percakapan Elifas, Bildad, dan Zofar dengan Ayub, para sahabat yang awalnya datang untuk menghibur, namun akhirnya justru menuduh Ayub atas penderitaannya. Di tengah tuduhan dan kesalahpahaman tersebut, muncul pengingat mendasar tentang sifat Allah dan tuntutan-Nya terhadap manusia. Frasa "Dengarkanlah aku, hai kamu yang bijaksana!" menunjukkan bahwa ada pemahaman yang lebih dalam, sebuah perspektif ilahi yang harus diresapi. Kebijaksanaan di sini bukanlah kecerdasan semata, melainkan pemahaman yang benar tentang siapa Allah dan bagaimana seharusnya manusia bertindak di hadapan-Nya.
Bagian kedua ayat tersebut, "Jauhlah dari Allah perbuatan jahat, dan dari Yang Mahakuasa kesalahan," menegaskan sifat Allah yang tidak dapat berkompromi dengan dosa. Allah itu kudus dan adil. Perbuatan jahat dan kesalahan adalah hal yang asing bagi-Nya. Ini bukan berarti Allah tidak melihat atau tidak peduli terhadap dosa manusia. Sebaliknya, justru karena kesempurnaan-Nya, Allah menetapkan standar moral yang tinggi. Perintah untuk menjauh dari perbuatan jahat dan kesalahan bukan hanya larangan, tetapi juga ajakan untuk hidup dalam keselarasan dengan karakter ilahi. Ini adalah prinsip fundamental yang harus dipegang oleh setiap orang yang mengaku mengenal Allah.
Menjauh dari perbuatan jahat berarti memilih jalan yang benar, bahkan ketika itu sulit. Ini melibatkan integritas dalam setiap aspek kehidupan, kejujuran dalam perkataan, dan kebaikan dalam tindakan. Kesalahan, dalam konteks ini, bisa diartikan sebagai segala bentuk penyimpangan dari kehendak Allah. Implikasinya jelas: kehidupan yang jauh dari kejahatan dan kesalahan adalah kehidupan yang lebih dekat dengan Allah. Para sahabat Ayub mungkin telah melupakan prinsip dasar ini dalam argumen mereka, terlalu fokus pada "hukuman" Ayub daripada pada panggilan universal untuk hidup benar di hadapan Sang Pencipta.
Pesan dalam Ayub 34:10 tetap relevan hingga kini. Di dunia yang sering kali tampak mengaburkan batas antara benar dan salah, ayat ini menjadi jangkar moral. Ia mengingatkan kita bahwa Allah adalah Yang Mahakuasa, Sang Hakim Agung yang melihat segalanya. Perbuatan jahat sekecil apa pun, atau kesalahan yang dianggap remeh, pada akhirnya akan berhadapan dengan kekudusan-Nya. Oleh karena itu, kita dipanggil untuk terus menerus memeriksa hati dan tindakan kita, berusaha hidup dalam kebenaran dan keadilan. Ini adalah sebuah proses pembentukan karakter yang berkelanjutan, didorong oleh iman dan pengharapan akan kebaikan-Nya yang melimpah. Memilih untuk menjauh dari kejahatan bukan sekadar kewajiban, melainkan sebuah anugerah untuk dapat berjalan dalam terang-Nya dan menikmati kedamaian sejati yang hanya berasal dari-Nya.