"Orang berteriak karena banyak penindasan, mereka berseru karena lengan orang-orang perkasa."
Kutipan dari Kitab Ayub ini, Ayub 35:9, menggambarkan sebuah realitas yang seringkali dihadapi manusia: teriakan minta tolong yang muncul dari penderitaan dan penindasan. Dalam bahasa yang lugas, ayat ini menangkap esensi dari sebuah keputusasaan, ketika seseorang merasa terhimpit oleh kekuatan yang lebih besar, baik itu berupa ketidakadilan, kesewenang-wenangan, maupun beban hidup yang tak tertanggungkan. Derita yang dialami membuat suara mereka terangkat, bukan dalam bentuk doa yang tenang, tetapi sebagai seruan yang mendesak, sebuah ungkapan kegelisahan jiwa yang tak bisa lagi ditahan.
Penderitaan dalam berbagai bentuknya adalah bagian tak terpisahkan dari pengalaman manusia. Penindasan bisa datang dari berbagai arah: sistem sosial yang timpang, hubungan interpersonal yang toksik, kondisi ekonomi yang sulit, hingga perjuangan pribadi melawan penyakit atau kegagalan. Ketika seseorang terus-menerus dihadapkan pada situasi yang merampas kedamaian dan kebebasan mereka, secara alami akan muncul dorongan untuk menyuarakan kesakitan tersebut. Ayat ini mengingatkan kita bahwa di balik setiap teriakan, tersembunyi sebuah cerita tentang perjuangan dan kerentanan.
Meskipun situasi yang digambarkan Ayub 35:9 terdengar suram, penting untuk melihatnya dari perspektif yang lebih luas. Teriakan ini, meski lahir dari keputusasaan, juga merupakan bukti ketahanan jiwa manusia. Mereka yang berseru menunjukkan bahwa mereka belum sepenuhnya menyerah. Ada keinginan untuk keadilan, untuk perubahan, untuk adanya bantuan atau sekadar didengarkan. Lengan orang-orang perkasa yang dimaksud bisa merujuk pada kekuatan fisik, kekuasaan politik, atau bahkan kekuatan destruktif yang mengintimidasi. Namun, suara yang terangkat melawan kekuatan tersebut adalah suara yang menolak untuk dibungkam selamanya.
Seringkali, di tengah kesulitan yang paling pekat sekalipun, manusia mencari secercah harapan. Mereka mungkin merasa sendirian, tetapi kesadaran akan adanya penderitaan bersama atau harapan akan adanya kebaikan yang lebih besar dapat mendorong mereka untuk terus bersuara. Ini adalah sebuah dorongan naluriah untuk mencari jalan keluar, untuk menemukan solusi, atau setidaknya untuk mengalihkan beban berat yang mereka pikul. Dalam konteks spiritual, teriakan ini juga bisa menjadi bentuk doa yang paling otentik, sebuah permohonan langsung kepada kekuatan yang lebih tinggi ketika segala upaya manusia terasa sia-sia.
Ayub 35:9 tidak hanya berbicara tentang penderitaan, tetapi juga menyiratkan adanya kemungkinan untuk merespons. Bagi mereka yang mendengarkan, ayat ini menjadi panggilan untuk berempati dan bertindak. Ketika kita mendengar teriakan dari orang-orang yang tertindas, respons kita bisa menjadi penentu. Apakah kita memilih untuk mengabaikan, ataukah kita mencoba memahami dan menawarkan bantuan? Perjuangan melawan "lengan orang-orang perkasa" seringkali membutuhkan solidaritas dan dukungan dari pihak lain.
Dalam setiap era, akan selalu ada suara-suara yang terangkat karena ketidakadilan dan penindasan. Memahami makna di balik teriakan-teriakan tersebut adalah langkah awal untuk mencari solusi yang lebih baik. Ayub 35:9 mengajak kita untuk tidak hanya melihat pada fakta teriakan itu sendiri, tetapi juga pada akar penyebabnya. Dengan pemahaman yang mendalam dan hati yang terbuka, kita dapat berkontribusi untuk menciptakan dunia di mana teriakan-teriakan tersebut berkurang, dan digantikan oleh suara-suara kegembiraan serta kedamaian. Mari kita jadikan empati sebagai kekuatan yang lebih besar dari penindasan.