"Di manakah letak jalan ke rumah terang, dan dari manakah datangnya kegelapan?"
Pertanyaan retoris dalam Ayub 38:19 ini bukan sekadar celotehan puitis, melainkan sebuah undangan untuk merenungkan kedalaman kebijaksanaan yang mengatur alam semesta. Kitab Ayub, yang mencatat pergulatan seorang tokoh saleh menghadapi penderitaan yang tak terduga, mencapai klimaksnya ketika Allah sendiri berfirman kepada Ayub. Di tengah badai pertanyaan dan jawaban yang penuh kuasa, terselip ayat ini, mengarahkan perhatian kita pada misteri mendasar tentang asal-usul dan distribusi cahaya serta kegelapan.
Ayat ini menyoroti dua entitas yang tampaknya berlawanan namun saling melengkapi: terang dan kegelapan. Kitab Ayub kerap kali menggunakan perbandingan antara keduanya untuk menggambarkan pemahaman dan ketidaktahuan, kebaikan dan kejahatan, atau kehadiran dan ketiadaan. Allah, Sang Pencipta, adalah sumber dari segalanya. Dia adalah sumber cahaya yang menyinari bumi, memberikan kehangatan, dan memungkinkan kehidupan. Namun, Dia juga yang mengatur kegelapan, malam yang memberikan istirahat dan memungkinkan siklus alam berlanjut.
Frasa "jalan ke rumah terang" memicu imajinasi kita. Ke mana cahaya pergi saat matahari terbenam? Di mana sumbernya saat ia kembali menyinari cakrawala? Pertanyaan ini, yang diajukan ribuan tahun lalu, masih relevan hingga kini. Sains modern telah mengungkap banyak tentang mekanisme cahaya dan pembentukan siang serta malam, namun esensi misteri dan keajaiban di baliknya tetap terasa. Kita terbiasa dengan keberadaan siang dan malam, begitu pula dengan bintang-bintang yang berkelipan di kegelapan malam, dan matahari yang terbit dengan megah di pagi hari. Namun, kita jarang berhenti sejenak untuk bertanya, "Bagaimana semua ini bisa terjadi?"
Pentingnya ayat ini terletak pada konteksnya. Setelah Ayub mengalami serangkaian cobaan berat, mempertanyakan keadilan ilahi, dan berdebat dengan teman-temannya, Allah menjawabnya dengan menunjukkan kebesaran-Nya melalui ciptaan-Nya. Pertanyaan tentang jalan terang dan asal kegelapan adalah pengingat bahwa pemahaman manusia sangat terbatas. Kita mungkin dapat mempelajari hukum-hukum fisika yang mengatur pergerakan bintang dan rotasi bumi, tetapi misteri primordial dari mana semua itu berasal tetap berada di luar jangkauan pengetahuan kita yang lengkap. Allah memegang kendali atas semua itu, mengaturnya dengan hikmat yang tak terduga.
Merangkul Ayub 38:19 berarti menerima keterbatasan kita sambil mengagumi kekuasaan Sang Pencipta. Ini mendorong kita untuk mencari pemahaman lebih dalam, tidak hanya melalui observasi ilmiah, tetapi juga melalui iman dan kerendahan hati. Cahaya membawa kejelasan, pengetahuan, dan kehidupan, sementara kegelapan membawa kedamaian, refleksi, dan potensi untuk siklus baru. Keduanya adalah bagian integral dari tatanan ilahi, dan kita diundang untuk melihat keindahan dan hikmat di balik keduanya.
Karya seni SVG di atas mencoba menggambarkan dualitas ini. Sisi kiri mewakili cahaya, dengan gradien warna hangat dan sebuah lingkaran cerah yang melambangkan sumber cahaya. Sisi kanan mewakili kegelapan, dengan gradien warna gelap dan lingkaran yang lebih temaram. Keduanya berdampingan, menunjukkan bagaimana terang dan gelap adalah bagian tak terpisahkan dari satu kesatuan yang lebih besar, diatur oleh tangan Ilahi yang tak terlihat.
Sebagai penutup, Ayub 38:19 mengajak kita untuk selalu memiliki rasa ingin tahu dan kekaguman terhadap alam semesta. Setiap fajar adalah undangan untuk merenungkan misteri cahaya, dan setiap malam adalah kesempatan untuk menghargai keheningan kegelapan. Kedua hal tersebut mengingatkan kita pada Sang Pencipta yang Maha Kuasa, yang jalan-jalan-Nya jauh melampaui pemahaman kita yang terbatas.