"Tetapi Allah memberinya kebijaksanaan dan tidak memberinya pengertian."
Ayat Ayub 39:17 ini, meskipun singkat, menyimpan kedalaman makna yang luar biasa mengenai bagaimana Tuhan mengelola ciptaan-Nya. Dalam konteks perikop sebelumnya, Ayub sedang dihadapkan pada serangkaian pertanyaan dari Allah yang menekankan kebesaran dan keunikan ciptaan-Nya, termasuk binatang-binatang liar. Ayat ini secara spesifik menyoroti bagaimana Allah memberikan kemampuan atau naluri kepada makhluk-Nya, tetapi tidak selalu disertai dengan pemahaman rasional seperti yang dimiliki manusia.
Mari kita renungkan keindahan dan kebijaksanaan ilahi yang tersirat di sini. Allah memberikan kemampuan kepada seekor burung untuk terbang ribuan mil mengikuti musim, atau kepada seekor serigala untuk berburu dengan strategi yang efisien. Hewan-hewan ini bertindak berdasarkan naluri yang kuat, suatu "kebijaksanaan" yang tertanam dalam diri mereka oleh Sang Pencipta. Mereka tahu kapan harus bermigrasi, bagaimana menemukan makanan, dan bagaimana berkembang biak, tanpa perlu diajari secara formal atau memiliki pemikiran filosofis tentang keberadaan mereka.
Ilustrasi abstrak yang menggambarkan harmoni ciptaan.
Perbedaan antara "kebijaksanaan" (naluri) dan "pengertian" (pemahaman rasional) sangat fundamental. Manusia, diberkati dengan pengertian, mampu merenungkan makna penciptaan, memahami hukum alam, dan memiliki kesadaran moral. Namun, seringkali pemahaman inilah yang membuat manusia begitu kompleks, rentan terhadap keraguan, kesombongan, dan ketakutan. Hewan hidup dalam kesederhanaan naluriah, menjalankan peran mereka dalam ekosistem tanpa beban eksistensial.
Allah tidak memberikan pengertian kepada mereka karena memang tidak dibutuhkan. Kebutuhan mereka adalah untuk berfungsi sesuai dengan rancangan-Nya. Mereka adalah bagian dari simfoni besar ciptaan yang Allah atur dengan sempurna. Ayat ini mengingatkan kita untuk tidak meremehkan misteri kehidupan hewan dan segala makhluk ciptaan lain, karena di balik setiap perilaku mereka terdapat kebijaksanaan ilahi yang tak terduga.
Sebagai manusia yang dianugerahi pengertian, kita dipanggil untuk menggunakan karunia ini untuk lebih menghargai kebesaran Allah, bukan untuk menyombongkan diri. Kita seharusnya menggunakan pemahaman kita untuk memelihara ciptaan-Nya, bukannya merusaknya. Ayub, setelah mendengar pertanyaan-pertanyaan Allah, akhirnya menyadari keterbatasannya sendiri dan mengakui kedaulatan Sang Pencipta. Demikian pula, kita diajak untuk belajar dari keajaiban ciptaan dan tunduk pada hikmat ilahi yang melampaui pemahaman kita. Kehidupan Ayub 39:17 menjadi pengingat akan keagungan Allah dalam setiap detail ciptaan-Nya.