"Siapakah yang mendahului Aku, sehingga Aku harus membayarnya? Segala sesuatu di kolong langit adalah milik-Ku."
Ilustrasi matahari bersinar cerah di langit biru.
Firman Tuhan dalam Kitab Ayub pasal 41 ayat 5 menyajikan sebuah pertanyaan retoris yang begitu kuat dari Sang Pencipta semesta. Pertanyaan ini tidak sekadar menguji pemahaman manusia tentang kekuasaan dan kepemilikan, tetapi juga mengajak kita merenungkan hakikat keberadaan kita di hadapan Yang Maha Kuasa. "Siapakah yang mendahului Aku, sehingga Aku harus membayarnya?" Ini adalah sebuah pernyataan keagungan ilahi yang menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi, berasal dari Dia dan berada di bawah kendali-Nya.
Dalam konteks percakapan antara Ayub dan Allah, pertanyaan ini muncul setelah Allah menjelaskan kebesaran dan kekuasaan-Nya melalui deskripsi makhluk-makhluk luar biasa seperti Lewiatan. Allah menunjukkan bahwa bahkan makhluk yang paling tangguh sekalipun adalah ciptaan-Nya, tunduk pada kehendak-Nya, dan tidak ada kekuatan lain yang dapat menantang atau mengklaim kepemilikan atas apa yang telah Allah ciptakan. Manusia, dengan segala keterbatasannya, seringkali memiliki kecenderungan untuk merasa memiliki, menguasai, dan bahkan berhutang budi kepada pihak lain. Namun, di hadapan Allah, klaim semacam itu menjadi tidak relevan.
Ayub 41:5 mengingatkan kita bahwa tidak ada siapa pun yang bisa "mendahului" Allah dalam arti memberikan sesuatu yang belum dimiliki Allah, sehingga Allah harus mengembalikannya atau membayarnya. Segala ciptaan, termasuk sumber daya alam, bakat, kesempatan, dan bahkan kehidupan itu sendiri, adalah pemberian cuma-cuma dari Tuhan. Konsep "membayar" atau "berhutang" antar sesama manusia atau kepada entitas lain di luar Tuhan menjadi kabur ketika kita memahami bahwa segalanya berakar pada kemurahan hati-Nya. Kebaikan ilahi yang digambarkan di sini adalah kebaikan yang mutlak dan tanpa pamrih.
Merungkan frasa "Segala sesuatu di kolong langit adalah milik-Ku" membawa dampak signifikan pada pandangan hidup kita. Ini berarti bahwa setiap pencapaian kita, setiap sumber daya yang kita kelola, adalah kepercayaan yang diberikan oleh Tuhan. Kita dipanggil bukan untuk mengklaim kepemilikan egois, melainkan untuk menjadi pengelola yang setia. Ini juga mengajarkan kerendahan hati. Tidak ada dasar bagi kesombongan atau keangkuhan, karena apa pun yang kita miliki bukanlah hasil usaha tunggal kita, melainkan anugerah yang memungkinkan kita berjuang dan berprestasi.
Dalam kehidupan sehari-hari, pemahaman ini bisa menjadi sumber kekuatan dan ketenangan. Ketika menghadapi kesulitan atau kegagalan, kita tidak perlu merasa bahwa kita telah kehilangan sesuatu yang "milik" kita secara mutlak. Sebaliknya, kita diingatkan bahwa Allah adalah pemilik segalanya, dan Dia memiliki rencana yang lebih besar. Demikian pula, ketika kita diberkati dengan kesuksesan, kita dipanggil untuk bersyukur dan menggunakan berkat tersebut sesuai dengan kehendak-Nya, menyadari bahwa itu bukan milik kita semata. Keyword ayub 41 5 ini, pada hakikatnya, adalah pengingat abadi tentang kedaulatan Allah dan panggilan kita untuk hidup dalam kesadaran akan kebaikan-Nya yang melimpah.
Oleh karena itu, mari kita menyikapi setiap aspek kehidupan dengan hati yang penuh syukur, kerendahan hati, dan kesadaran akan kepemilikan ilahi. Ini bukan berarti kita menjadi pasif, tetapi kita bertindak dengan keyakinan bahwa sumber segala kekuatan dan berkat adalah dari Allah Yang Maha Esa.