Berkatalah ia kepada mereka: "Dan kepada siapakah hendaknya kita pergi meminta petunjuk untuk berperang melawan Rama-Gilead? Apakah hanya engkau seorang saja yang kita minta petunjuk?"
Ilustrasi visual dari diskusi antara Raja Yosafat dan Raja Ahab mengenai strategi perang.
Ayat ini dari Kitab 2 Tawarikh pasal 18, ayat ke-6, menyajikan momen krusial dalam narasi Alkitab yang melibatkan Raja Yosafat dari Yehuda dan Raja Ahab dari Israel. Dalam konteks ini, Yosafat dan Ahab sedang merencanakan kampanye militer melawan kota Rama-Gilead, yang saat itu dikuasai oleh Siria. Raja Ahab, yang merupakan penguasa Israel utara, telah mengajak Yosafat, raja Yehuda selatan, untuk bergabung dalam pertempuran ini.
Sebelum terjun ke dalam medan perang, tradisi kerajaan yang bijaksana menuntut adanya nasihat dari para nabi atau peramal. Raja Ahab, dengan gaya khasnya yang seringkali pragmatis dan terkadang licik, telah memanggil sekitar empat ratus nabi untuk dimintai pendapat mereka. Namun, apa yang disajikan oleh para nabi ini adalah sekumpulan pujian dan ramalan yang sangat positif, yang semuanya menyatakan kemenangan telak bagi kedua raja tersebut. Hal ini tampak mencurigakan, terutama mengingat sifat Ahab yang seringkali tidak taat kepada Tuhan.
Di sinilah Raja Yosafat menunjukkan kebijaksanaannya. Ia tidak langsung percaya pada serbuan pujian dan ramalan dari empat ratus nabi tersebut. Yosafat, yang dalam banyak aspek pemerintahannya berusaha untuk mengikuti Tuhan, menyadari adanya kemungkinan bahwa para nabi ini mungkin tidak memberikan nasihat yang tulus atau, lebih buruk lagi, mereka dipengaruhi oleh roh yang menyesatkan. Pertanyaan Yosafat, "Dan kepada siapakah hendaknya kita pergi meminta petunjuk untuk berperang melawan Rama-Gilead? Apakah hanya engkau seorang saja yang kita minta petunjuk?" menunjukkan keraguannya yang mendalam. Ia mencari sumber nasihat yang lebih otentik dan dapat dipercaya, seseorang yang tidak sekadar ingin menyenangkan raja atau yang terpengaruh oleh kepentingan duniawi.
Raja Yosafat tidak berhenti pada keraguannya, tetapi ia kemudian menanyakan kepada Ahab apakah ada nabi lain yang dapat dihubungi, yang lebih setia kepada Tuhan. Ahab kemudian menyebutkan nama Mikha, putra Yimla, tetapi ia juga menambahkan dengan nada yang meremehkan bahwa ia membenci Mikha karena Mikha tidak pernah menubuatkan hal yang baik baginya, melainkan selalu firman yang buruk. Ini menunjukkan kontras antara Ahab yang mencari kenyamanan dalam ramalan palsu dan Yosafat yang mencari kebenaran, bahkan jika kebenaran itu tidak menyenangkan.
Momen ini menyoroti pentingnya mencari hikmat dari sumber yang benar. Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita sering dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit dan perlu mengambil keputusan. Sama seperti Yosafat, kita perlu berhati-hati terhadap nasihat yang tampak terlalu indah untuk menjadi kenyataan atau yang berasal dari orang-orang yang tidak memiliki integritas moral. Kitab Suci dan doa kepada Tuhan adalah sumber hikmat yang tak ternilai. Mendengarkan nabi-nabi palsu atau hanya mencari konfirmasi atas keinginan kita sendiri dapat membawa pada kehancuran, sementara mencari kebenaran, meskipun terkadang sulit, akan menuntun kita kepada jalan yang benar dan berkat. Nasihat Raja Yosafat dalam ayat ini tetap relevan bagi siapa saja yang mencari bimbingan dalam kehidupan.