"Baiklah sekarang berseru; adakah yang menyahut? Kepada siapa di antara yang kudus engkau akan berpaling?
Ayat Ayub 5:1 menjadi pembuka dalam perdebatan panjang dan penuh gejolak antara Ayub dan ketiga sahabatnya. Setelah penderitaan yang luar biasa melanda Ayub, ia terus dihujani oleh tuduhan dan nasihat dari teman-temannya, yang bersikeras bahwa dosalah yang menjadi akar dari kesialannya. Dalam ayat ini, Zofar, salah satu sahabat Ayub, memulai perkataannya. Seruannya mencerminkan keputusasaan Ayub yang mencoba mencari jawaban, sekaligus menyindir kemampuannya untuk mendapatkan dukungan dari sumber yang lebih tinggi. Pertanyaan retoris ini menyiratkan bahwa dalam pandangan Zofar, penderitaan Ayub adalah bukti yang jelas atas kesalahan yang tersembunyi, dan seruan Ayub kepada Tuhan pun mungkin tidak akan mendapatkan jawaban yang diharapkan jika dosanya belum diakui dan diatasi.
Zofar, seperti Bildad dan Elifas sebelumnya, menganut pandangan teologis yang umum pada masa itu: penderitaan selalu merupakan akibat langsung dari dosa. Mereka tidak bisa membayangkan seseorang yang benar hidup dalam kesengsaraan sedalam yang dialami Ayub. Oleh karena itu, mereka menyimpulkan bahwa Ayub pasti telah melakukan sesuatu yang sangat salah, meskipun ia sendiri bersikeras akan kepolosannya. Dengan menanyakan "adakah yang menyahut?", Zofar secara halus menantang Ayub untuk membuktikan bahwa ia memiliki kedekatan dengan kekudusan ilahi yang begitu besar sehingga doa dan seruannya akan didengar. Ia seolah berkata, "Jika engkau benar-benar saleh, mengapa Tuhan diam? Mengapa tidak ada yang membela atau menjawabmu?"
Pertanyaan Zofar juga dapat dilihat sebagai tantangan kepada Ayub untuk melihat ke dalam dirinya sendiri dan mencari "yang kudus" yang mungkin telah ia langgar. Namun, dalam konteks yang lebih luas dari kitab Ayub, ayat ini juga secara ironis menyoroti ketidakmampuan manusia untuk sepenuhnya memahami rencana ilahi. Zofar, dengan keterbatasannya, berasumsi bahwa ia memahami cara kerja Tuhan secara pasti. Ia percaya bahwa Tuhan selalu memberikan balasan yang setimpal, baik itu berkat bagi orang benar maupun hukuman bagi orang berdosa.
Menariknya, Ayub sendiri pada akhirnya akan menemukan penghiburan dan pemulihan, bukan melalui pengakuan dosa yang dipaksakan oleh sahabat-sahabatnya, melainkan melalui perjumpaan langsung dengan Tuhan. Perjumpaan ini bukan tentang menghakimi, melainkan tentang mengungkapkan kemahakuasaan dan kebijaksanaan Tuhan yang melampaui pemahaman manusia. Ayat Ayub 5:1 ini, oleh Zofar, digunakan untuk menguatkan argumennya bahwa Ayub adalah orang berdosa yang pantas menerima hukuman. Namun, sejarah penderitaan Ayub yang kita baca dalam kitab ini justru menjadi kesaksian yang kuat tentang kesetiaan Tuhan kepada hamba-Nya yang benar, bahkan di tengah badai kesulitan yang tak terduga. Kepercayaan Ayub pada akhirnya membawa dia pada pemahaman yang lebih dalam tentang kebesaran Tuhan, yang melampaui logika dan pemahaman manusia yang sempit.
Perkataan Zofar, meskipun penuh dengan keyakinan teologisnya, sering kali menjadi simbol bagaimana baik niat pun bisa salah jika didasarkan pada asumsi yang keliru tentang keadilan ilahi. Kisah Ayub mengajarkan kita untuk berhati-hati dalam menghakimi penderitaan orang lain dan mengingatkan kita bahwa hikmat Tuhan jauh melampaui apa yang bisa kita pahami.