"Sekiranya ada seorang yang dapat mendamaikan kita, yang dapat meletakkan tangannya di atas kita berdua, sekiranya ia dapat menghilangkan murka Allah daripadaku, sehingga aku tidak lagi gemetar karena takut kepada-Nya."
Dalam pergulatan hidup yang penuh dengan cobaan dan penderitaan, kerap kali manusia merasa terisolasi dan kewalahan. Kitab Ayub, khususnya pasal 9 ayat 33, menyuarakan jeritan hati yang mendalam, kerinduan akan adanya perantara, seseorang yang dapat menjembatani jurang antara diri manusia yang berdosa dan Allah yang Mahakudus. Ayub, dalam penderitaannya yang tak terbayangkan, mengungkapkan hasratnya yang membara untuk menemukan kedamaian. Ia merindukan kehadiran sosok yang mampu menenteramkan hati nuraninya yang gelisah, dan yang terpenting, menghilangkan ketakutan serta murka ilahi yang ia rasakan begitu berat membebani.
Ayub sedang menghadapi situasi di mana ia merasa tidak berdaya untuk membela diri atau menjelaskan ketidakbersalahannya kepada Allah. Ia mengakui kebesaran dan kekudusan Tuhan yang tak dapat ia tandingi. Dalam kebingungan dan kesakitannya, ia tidak mencari jalan untuk menyalahkan Allah, melainkan mencari jalan keluar dari jurang keputusasaan. Ayat ini bukan sekadar keluhan, melainkan sebuah permohonan yang tulus, sebuah pengakuan akan kebutuhan mendasar manusia akan penebusan dan rekonsiliasi. Ia mendambakan seseorang yang dapat memegang tangannya, baik tangan Allah maupun tangannya sendiri, untuk membawa keharmonisan dan pemulihan.
Lebih dari sekadar permohonan pribadi Ayub, ayat ini memiliki resonansi yang jauh lebih luas bagi umat manusia. Dalam teologi Kristen, ayat ini seringkali dipandang sebagai nubuat yang menunjuk pada kedatangan Yesus Kristus. Yesus adalah perantara sempurna yang Allah sediakan bagi manusia. Melalui pengorbanan-Nya di kayu salib, Yesus telah mendamaikan manusia dengan Allah. Ia mengambil murka Allah yang seharusnya menimpa manusia karena dosa, dan mengalihkan kedamaian serta pengampunan kepada siapa saja yang percaya kepada-Nya. Kematian dan kebangkitan-Nya menawarkan harapan yang kekal, bukan hanya penghilangan rasa takut sementara, tetapi pemulihan hubungan yang utuh dengan Sang Pencipta.
Memahami Ayub 9:33 membuka perspektif baru tentang bagaimana kita menghadapi kesulitan. Kita tidak perlu menghadapi badai kehidupan sendirian. Keberadaan Yesus sebagai perantara memberikan kepastian bahwa ada tangan yang siap meraih kita. Ia mengerti penderitaan kita, Ia telah mengalaminya, dan Ia menawarkan kekuatan serta penghiburan. Ayat ini mengajarkan bahwa di tengah kegelapan dan ketakutan, selalu ada cahaya harapan yang bersinar melalui pribadi Sang Perantara. Ia adalah kunci untuk menghilangkan rasa takut dan mendatangkan kedamaian sejati yang melampaui segala pemahaman, sebuah kedamaian yang berasal langsung dari sumber kasih ilahi.
Ayub 9:33 adalah pengingat yang kuat akan kebutuhan kita akan penebusan dan kasih karunia. Ia menyoroti kedalaman kerinduan jiwa manusia untuk terhubung kembali dengan Sang Pencipta. Dengan Yesus sebagai perantara kita, kita dapat mendekati takhta kasih karunia dengan keberanian dan harapan, mengetahui bahwa murka telah dihapuskan dan kedamaian telah diberikan.
Untuk mendalami lebih lanjut tentang harapan ini, Anda bisa merujuk pada kitab Ayub pasal 9.