"Bilakah orang Israel mendiami Hesybon dan kota-kotanya, serta Aróer dan kota-kotanya, dan segala kota di tepi sungai Arnon, empat ratus tahun lamanya? Mengapakah kamu tidak merebutnya kembali pada waktu itu?"
Visualisasi perjuangan dan harapan dalam perjalanan.
Ayat Hakim-Hakim 11:26 merupakan bagian dari percakapan penting antara Yefta, seorang pemimpin yang diasingkan, dengan para tua-tua Gilead. Percakapan ini terjadi pada masa ketika bangsa Israel sedang menghadapi tekanan dari bangsa Amori. Yefta dipanggil untuk memimpin bangsa Israel melawan Amori, sebuah tugas yang berat dan penuh risiko. Sebelum berangkat perang, Yefta ingin memastikan bahwa para tua-tua Gilead akan memberinya kekuasaan penuh atas mereka jika ia berhasil memenangkan pertempuran.
Dalam argumennya, Yefta mengutip peristiwa sejarah yang terjadi sekitar 400 tahun sebelumnya, yaitu saat bangsa Israel pertama kali menyeberangi Sungai Arnon. Ia merujuk pada kota-kota seperti Hesybon, Aróer, dan kota-kota lain di tepi sungai Arnon yang pada saat itu telah dihuni oleh bangsa Israel. Yefta bertanya kepada para tua-tua Gilead, mengapa mereka tidak mengambil kembali wilayah tersebut jika memang itu milik mereka, dan mengapa mereka sekarang ragu untuk berperang melawan Amori yang telah menduduki tanah tersebut selama berabad-abad.
Kutipan Yefta ini bukan sekadar argumen sejarah, tetapi juga memiliki makna teologis yang mendalam. Ia mengingatkan bahwa kehadiran dan kepemilikan bangsa Israel atas tanah Kanaan adalah bagian dari rencana Tuhan. Tuhan telah menjanjikan tanah itu kepada keturunan Abraham, dan setiap kali Israel setia kepada Tuhan, mereka sering kali diberkati dengan kemenangan dan kemakmuran. Sebaliknya, ketika Israel jatuh dalam dosa dan ketidaktaatan, mereka sering kali mengalami kekalahan dan penindasan dari bangsa lain.
Yefta secara implisit menekankan bahwa pengambilalihan tanah oleh Amori adalah sebuah ketidakadilan yang berlarut-larut. Dengan mengingatkan kembali masa lalu ketika Israel pernah menguasai wilayah tersebut, Yefta membangun dasar legitimasi untuk pertempuran yang akan datang. Ia menegaskan bahwa ini bukan sekadar perebutan wilayah, tetapi pengembalian hak yang sah, yang dijamin oleh Tuhan sendiri. Frasa "bilakah orang Israel mendiami..." menyiratkan pertanyaan retoris yang mendorong para tua-tua untuk melihat kenyataan sejarah dan kehendak Tuhan.
Lebih jauh lagi, kisah Yefta dan perjuangannya melawan Amori dapat dilihat sebagai gambaran dari kebutuhan bangsa Israel akan seorang penyelamat. Yefta sendiri, meskipun memiliki kekurangan dan membuat keputusan yang kontroversial, bertindak sebagai pemimpin yang diutus Tuhan untuk membebaskan umat-Nya dari penindasan. Ayat ini, dalam konteks yang lebih luas, menyoroti siklus penebusan yang berulang dalam sejarah Israel: penindasan, seruan kepada Tuhan, pengutusan seorang penyelamat, dan pembebasan.
Pesan dari Hakim-Hakim 11:26 dapat diaplikasikan dalam berbagai aspek kehidupan kita. Pertama, pentingnya mengingat dan belajar dari sejarah. Sejarah, baik pribadi maupun kolektif, memberikan pelajaran berharga tentang konsekuensi dari pilihan-pilihan kita. Kedua, ayat ini mengingatkan kita bahwa Tuhan peduli terhadap keadilan dan hak-hak umat-Nya. Ketika kita menghadapi ketidakadilan, kita dapat berdoa dan berjuang dengan keyakinan bahwa Tuhan menyertai kita.
Ketiga, kita dipanggil untuk bertindak ketika kebenaran dan hak terancam. Seperti Yefta yang dipanggil untuk membela kaumnya, kita juga dipanggil untuk menjadi agen perubahan positif di lingkungan kita. Terakhir, ayat ini menggarisbawahi pentingnya iman dan keberanian dalam menghadapi tantangan. Meskipun situasi tampak sulit, dengan mengandalkan Tuhan dan berani bertindak, kita dapat melihat pembebasan dan kemenangan. Kisah Yefta mengajarkan bahwa Tuhan dapat menggunakan siapa saja, bahkan mereka yang dianggap terbuang, untuk melaksanakan rencana-Nya dan menjadi penyelamat bagi umat-Nya.