Lalu berkatalah ia kepada ayahnya: "Biarlah dilakukan kepadaku permintaan ini. Lepaskanlah aku untuk meratap sebentar di gunung-gunung bersama-teman-temanku, karena aku akan mati dan belum pernah mengalami apa-apa."
Kisah Hakim-hakim 11:37 membawa kita pada momen dramatis dalam kehidupan Yepta, seorang pemimpin yang gagah berani namun dihadapkan pada janji yang berat. Dalam usahanya untuk membebaskan bangsa Israel dari kaum Amon, Yepta membuat sebuah nazar kepada Tuhan. Ia berjanji bahwa jika Tuhan mengaruniakannya kemenangan, maka barangsiapa yang pertama kali keluar dari rumahnya untuk menyambutnya sepulang dari pertempuran, akan dipersembahkan kepada Tuhan. Ironisnya, yang pertama kali keluar adalah putri tunggalnya, Yefta sendiri.
Ayat ini merekam respons sang putri. Ia tidak memberontak, tidak juga meratap dengan kemarahan. Sebaliknya, ia menunjukkan kerendahan hati dan ketaatan yang luar biasa. Permintaannya untuk dibebaskan "untuk meratap sebentar di gunung-gunung bersama-teman-temannya, karena aku akan mati dan belum pernah mengalami apa-apa" bukanlah bentuk penolakan, melainkan permintaan untuk momen refleksi terakhir sebelum mengorbankan hidupnya demi menepati nazar ayahnya dan demi keselamatan bangsanya. Inilah inti dari keberanian sejati: kemampuan untuk menerima takdir, bahkan yang paling pahit sekalipun, dengan ketaatan dan integritas.
Kisah Hakim-hakim 11:37 mengajarkan kita tentang kompleksitas pengorbanan. Seringkali, ketika mendengar kisah ini, kita terfokus pada kesedihan yang mendalam atas hilangnya kehidupan muda yang belum dijalani. Namun, di balik itu tersembunyi pelajaran tentang betapa pentingnya menepati janji dan nazar yang telah dibuat di hadapan Tuhan. Yepta, meskipun pasti merasakan kesedihan yang luar biasa, tetap pada janjinya. Demikian pula, putrinya menunjukkan pengertian yang luar biasa akan implikasi dari nazar tersebut, dan memilih untuk memenuhinya.
Lebih dari sekadar narasi tragis, ayat ini mengundang kita untuk merenungkan arti keberanian dan ketaatan dalam hidup kita. Apakah kita siap untuk mengorbankan keinginan pribadi demi kebaikan yang lebih besar atau demi menepati janji? Apakah kita mampu menghadapi situasi sulit dengan sikap yang terhormat, seperti yang ditunjukkan oleh putri Yepta? Permintaannya untuk meratap bukan sekadar kesedihan, tetapi juga cara untuk memberikan penghormatan terakhir pada kehidupan yang ia miliki dan untuk memberikan waktu bagi dirinya sendiri untuk mempersiapkan diri menghadapi panggilan Tuhan.
Kisah ini juga dapat dilihat sebagai gambaran dari pengorbanan Kristus di kayu salib, sebuah pengorbanan terbesar demi menebus umat manusia. Meskipun konteksnya berbeda, prinsip ketaatan pada kehendak ilahi dan kesediaan untuk berkorban demi sebuah tujuan yang lebih tinggi tetap relevan. Hakim-hakim 11:37 mengingatkan kita bahwa di balik setiap ujian dan pengorbanan, ada makna yang lebih dalam dan pelajaran yang berharga yang dapat membentuk karakter kita menjadi lebih kuat dan lebih saleh.