Berkata Yefta: "Jika engkau mengalahkan bani Amon pada waktu aku di tanganmu, maka apa pun yang keluar dari pintu rumahku untuk menyongsong aku, pada waktu aku kembali dengan selamat dari bani Amon, itu akan menjadi milik TUHAN, dan aku akan mempersembahkannya sebagai korban bakaran."
Kitab Hakim-hakim, pasal 11 ayat 9, mencatat salah satu janji yang paling dramatis dan konsekuensial dalam sejarah Alkitab. Ayat ini adalah inti dari sumpah yang diucapkan oleh Yefta, seorang pemimpin militer yang gagah berani dari Gilead. Pada masa itu, bangsa Israel menghadapi ancaman serius dari bani Amon, sebuah bangsa tetangga yang kuat. Dalam situasi genting seperti ini, di mana nasib bangsa dipertaruhkan, hati Yefta dipenuhi dengan tekad untuk berjuang dan memenangkan peperangan tersebut. Namun, keberaniannya tidak datang tanpa keraguan dan kebutuhan akan pertolongan ilahi.
Yefta, yang dikenal sebagai seorang pejuang ulung, menyadari bahwa kemenangan tidak semata-mata bergantung pada kekuatan pasukan atau strategi militernya. Ia tahu bahwa hanya dengan pertolongan Tuhan ia dapat berhasil mengalahkan musuh-musuhnya. Oleh karena itu, dalam kerendahan hati dan ketergantungan yang mendalam, ia mengangkat doanya kepada Tuhan. Janji yang diucapkannya adalah bukti dari imannya yang teguh dan kesediaannya untuk menyerahkan segalanya demi keselamatan bangsanya. Ia berjanji, "Jika engkau mengalahkan bani Amon pada waktu aku di tanganmu, maka apa pun yang keluar dari pintu rumahku untuk menyongsong aku, pada waktu aku kembali dengan selamat dari bani Amon, itu akan menjadi milik TUHAN, dan aku akan mempersembahkannya sebagai korban bakaran."
Janji ini memiliki bobot yang luar biasa. Yefta tidak menentukan secara spesifik apa yang akan ia persembahkan. Ia membuka diri terhadap kemungkinan apa pun yang akan Tuhan izinkan keluar dari rumahnya. Ini menunjukkan kepercayaan yang mutlak kepada Tuhan, bahwa apa pun yang diberikan sebagai hasil dari kemenangan, ia siap untuk memenuhinya sebagai bentuk pengabdian tertinggi. Kata-kata "menjadi milik TUHAN" dan "mempersembahkannya sebagai korban bakaran" mengindikasikan kesungguhan dan pengorbanan yang ekstrem.
Kisah Yefta, yang berakar pada Hakim-hakim 11:9, menjadi sebuah pelajaran penting tentang konsekuensi dari ucapan dan janji kita kepada Tuhan. Ketika Yefta kembali dari pertempuran dan meraih kemenangan gemilang, keluarlah dari rumahnya anak perempuannya yang tunggal untuk menyambutnya dengan tarian dan musik. Dalam kesedihan yang mendalam, Yefta terpaksa menepati janjinya. Kisah ini seringkali diperdebatkan dalam teologi, namun esensinya tetap sama: iman, ketaatan, dan pengorbanan. Yefta, melalui janjinya yang tak terduga dalam Hakim-hakim 11:9, mengajarkan kita tentang pentingnya berhati-hati dalam perkataan kita dan kesiapan untuk menghadapi akibatnya, terutama ketika berhadapan dengan Yang Maha Kuasa. Keberaniannya dalam menghadapi musuh juga dibarengi dengan keberanian untuk menghadapi konsekuensi dari sumpahnya, sebuah gambaran kuat tentang integritas dan pengabdian yang total.