"Lalu orang Efraim menyadap sungai itu dan berkata kepada orang Gilead: 'Pergilah kamu ke mari, kamu semua orang Efraim, dan kami akan menyadap sungai itu.' Tetapi kata orang Gilead kepada mereka: 'Kamukah Efraim yang lari dari pada orang Filistin?' Lalu mereka berkata kepada Yefta: 'Kami akan membunuhmu, engkau dan anak-anakmu.' Tetapi kata Yefta kepada orang Gilead: 'Telah aku berseru kepada Allahku, dan Dia telah menyerahkan mereka ke dalam tanganku.' Maka kata mereka kepada Yefta: 'Berilah kami tanganmu.' Tetapi kata Yefta kepada mereka: 'Jika kamu akan membunuhku, baiklah; tetapi aku akan membunuh kamu.' Lalu Yefta membiarkan mereka pergi, dan orang Gilead berperang melawan orang Efraim. Maka orang Gilead memukul kalah orang Efraim, karena orang Efraim berkata: 'Setiap orang yang melarikan diri ialah orang Efraim.' Lalu orang Gilead menyadap sungai itu; dan apabila orang Efraim yang melarikan diri itu datang untuk menyeberang, orang Gilead menahannya. Dan apabila seseorang dari Efraim berkata: 'Izinkan aku menyeberang,' maka orang Gilead bertanya kepadanya: 'Kamukah orang Efraim?' Jika ia berkata: 'Bukan,' maka kata mereka kepadanya: 'Ucapkanlah kata 'syibolet.' Tetapi jika ia mengucapkan kata 'sibolet,' dengan lidah yang kelu, maka mereka menahannya dan membunuhnya di tepi sungai itu. Pada waktu itu jatuhlah dari Efraim empat puluh dua ribu orang."
Ayat ini berasal dari Kitab Hakim-Hakim, yang mencatat periode sejarah Israel setelah penaklukan tanah Kanaan dan sebelum berdirinya kerajaan. Kitab ini sering menggambarkan siklus pemberontakan, hukuman, pertobatan, dan pembebasan Israel di bawah kepemimpinan para hakim. Dalam konteks ini, Yefta adalah salah satu hakim terakhir yang memimpin Israel melawan bangsa Amon. Setelah berhasil mengalahkan Amon, suku Efraim yang sebelumnya tidak mendukung Yefta, merasa iri dan marah karena tidak dilibatkan dalam kemenangan tersebut.
Peristiwa dalam Hakim-Hakim 12:5 menunjukkan ketegangan dan persaingan antar suku di Israel. Suku Efraim, yang seringkali memiliki rasa superioritas dan kekuatan militer, merasa diremehkan dan berusaha untuk mengintimidasi Yefta. Namun, Yefta yang memiliki pemahaman yang tajam, menggunakan taktik yang cerdik untuk membedakan antara pengikutnya dan musuh dari Efraim. Ujian pelafalan kata 'syibolet' menjadi cara efektif untuk mengidentifikasi orang Efraim. Perbedaan dialek antara suku Gilead (bagian dari suku Manasye, sekutu Yefta) dan suku Efraim terlihat jelas dalam pengucapan konsonan 'sy' (seperti dalam kata 'syibolet') yang dilafalkan sebagai 's' oleh orang Efraim.
Kisah Yefta dan pertempuran melawan suku Efraim, sebagaimana dicatat dalam Hakim-Hakim 12:5, menawarkan beberapa pelajaran penting. Pertama, ini menunjukkan konsekuensi dari perselisihan internal dan kesombongan. Suku Efraim, karena keangkuhan mereka, akhirnya mengalami kerugian besar. Kedua, ayat ini menyoroti pentingnya identitas dan kesetiaan. Dalam situasi krisis, kemampuan untuk membedakan teman dari musuh sangat krusial. Ujian 'syibolet' menjadi simbol yang kuat untuk menguji keaslian seseorang dan kesetiaan mereka kepada kelompok yang sama. Ketiga, kemenangan Yefta adalah bukti dari pertolongan Allah kepada umat-Nya ketika mereka bersatu dan bertindak dengan berani di bawah kepemimpinan yang diakui.
Meskipun kejadian ini terjadi ribuan tahun lalu, pelajaran yang terkandung di dalamnya tetap relevan. Dalam masyarakat modern, kita sering dihadapkan pada berbagai bentuk perpecahan, baik itu berdasarkan suku, ras, agama, atau pandangan politik. Kisah Hakim-Hakim 12:5 mengingatkan kita akan bahaya perpecahan dan pentingnya kesatuan, dialog, dan saling pengertian. Di sisi lain, kemampuan untuk mengidentifikasi dan membedakan antara nilai-nilai yang benar dan yang menyesatkan, serta menjaga integritas dalam menghadapi tantangan, tetap menjadi kunci keberhasilan dalam berbagai aspek kehidupan.