"Lalu berkatalah orang itu, 'Sekarang aku tahu, bahwa TUHAN akan berbuat baik kepadaku, karena aku telah memperoleh seorang Lewi menjadi imamku.'"
Ayat Hakim 17:13 merupakan sebuah momen penting yang mencerminkan kondisi spiritual dan sosial di masa para hakim. Dalam konteks periode ini, Israel sering kali mengalami kekacauan dan penyimpangan dari hukum Tuhan. Kepatuhan terhadap ajaran ilahi tidak konsisten, dan setiap orang cenderung melakukan apa yang benar menurut pandangan mereka sendiri. Di tengah ketidakpastian ini, pentingnya seorang pemimpin rohani yang sah dan pengetahuannya tentang kehendak Tuhan menjadi sangat krusial.
Tokoh yang dijumpai dalam pasal ini adalah Mikha, yang telah mendirikan tempat ibadah pribadi dan mengangkat salah satu anaknya menjadi imam. Namun, ketika seorang Lewi pengembara lewat, Mikha melihat kesempatan yang lebih baik. Ia percaya bahwa dengan mendapatkan seorang Lewi sebagai imamnya, Tuhan akan memberkati rumah tangganya. Pernyataannya, "Sekarang aku tahu, bahwa TUHAN akan berbuat baik kepadaku, karena aku telah memperoleh seorang Lewi menjadi imamku," menunjukkan pemahaman yang dangkal tentang hubungan dengan Tuhan. Ia menghubungkan kebaikan ilahi semata-mata dengan memiliki figur keimaman yang "tepat," bukan dengan ketaatan tulus terhadap hukum dan perintah Tuhan.
Keyword hakim hakim 17 13 mengingatkan kita pada narasi spesifik ini, yang menyoroti kebingungan dan penyalahgunaan praktik keagamaan pada masa itu. Pangkat keimaman semestinya hanya dipegang oleh keturunan Harun dari suku Lewi, dan mereka harus mengikuti aturan serta ritual yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Mikha, meskipun mungkin memiliki niat baik untuk mendapatkan bimbingan ilahi, bertindak berdasarkan pemahaman yang keliru dan menyimpang dari tatanan yang seharusnya. Ini adalah cerminan dari anarki spiritual yang meluas, di mana standar kebenaran ilahi sering kali terabaikan demi kepentingan pribadi atau tradisi yang disalahartikan.
Namun, di balik gambaran yang kelam, terdapat prinsip kebenaran yang ingin disampaikan. Tuhan tetap berdaulat dan berkeinginan untuk berinteraksi dengan umat-Nya. Kebutuhan akan pengorbanan yang benar dan kehadiran wakil yang ditunjuk-Nya adalah inti dari perjanjian yang telah Tuhan buat. Meskipun Mikha salah dalam pendekatannya, ia mengakui kebutuhan akan Tuhan dan mencari cara—sekalipun tidak sesuai—untuk mendekat kepada-Nya. Ini bisa menjadi pengingat bagi kita untuk terus berusaha memahami dan mengikuti kehendak Tuhan sesuai dengan Firman-Nya, bukan hanya berdasarkan apa yang terasa benar secara pribadi atau tradisi yang tidak berdasar.
Kisah hakim hakim 17 13 menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya prinsip kebenaran ilahi dan bagaimana penyimpangan dari prinsip tersebut dapat berujung pada kekacauan. Di masa kini, kita dipanggil untuk meneliti diri sendiri, memastikan bahwa praktik keagamaan kita berakar pada ajaran Firman Tuhan yang otentik, dan bahwa hubungan kita dengan Tuhan didasarkan pada iman yang benar, ketaatan yang tulus, dan pengenalan yang mendalam akan karakter-Nya, bukan sekadar formalitas atau pemenuhan persyaratan lahiriah semata.