Ayat dari Kitab Hakim-hakim 17:4, "Dan pada waktu itu, barang siapa melakukan apa yang benar dalam pandangannya sendiri, maka ia akan dibenarkan," seringkali disalahartikan atau dikutip di luar konteks. Ayat ini bukanlah anjuran untuk relativisme moral absolut, melainkan sebuah deskripsi dari keadaan sosial dan spiritual yang terjadi pada periode tersebut dalam sejarah Israel kuno. Periode ini dikenal sebagai masa ketika tidak ada raja yang memerintah di Israel, dan setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri. Penggambaran ini mencerminkan adanya kekacauan, hilangnya otoritas pusat, dan ketaatan yang menurun terhadap hukum ilahi.
Dalam konteks yang lebih luas, Kitab Hakim-hakim menggambarkan siklus pelanggaran, hukuman, penyesalan, dan pembebasan. Ayat 17:4 muncul dalam narasi tentang Mikha, seorang pria yang membuat berhala dan mendirikan tempat ibadah pribadi, bahkan mempekerjakan seorang Lewi sebagai imamnya. Tindakannya didasarkan pada apa yang ia anggap benar dan baik baginya, namun secara objektif, hal itu bertentangan dengan ajaran Taurat yang mengamanatkan ibadah hanya kepada TUHAN di tempat yang telah ditetapkan. Penggambaran ini menekankan bahaya dari mengikuti keinginan pribadi tanpa tuntunan ilahi atau otoritas yang sah.
Penting untuk membedakan antara "kebenaran menurut pandangan pribadi" dan "kebenaran yang objektif" atau "keadilan yang hakiki". Ayat ini menggambarkan era ketika konsep keadilan menjadi kabur karena kurangnya panduan moral yang kuat dan otoritas yang diakui. Dalam masyarakat yang seperti ini, mudah bagi individu untuk membenarkan tindakan mereka sendiri, bahkan jika tindakan tersebut merugikan orang lain atau melanggar prinsip-prinsip moral yang lebih tinggi. Keadilan yang hakiki seharusnya tidak hanya didasarkan pada persepsi subjektif, tetapi pada prinsip-prinsip yang adil, benar, dan berintegritas.
Dalam sistem peradilan modern, konsep hakim sangat sentral. Para hakim bertugas menafsirkan dan menerapkan hukum untuk mencapai keadilan. Namun, bahkan dalam sistem yang terstruktur, tantangan untuk memastikan keadilan yang tidak bias tetap ada. Para hakim dituntut untuk mengesampingkan pandangan pribadi mereka dan berpegang teguh pada bukti, hukum, dan prinsip-prinsip etika. Ini adalah refleksi dari kebutuhan akan keadilan yang melampaui preferensi individu, menuju sebuah standar yang lebih tinggi yang melindungi semua pihak.
Ayat Hakim-hakim 17:4 menjadi pengingat penting bagi kita semua. Dalam dunia yang semakin kompleks dan beragam, di mana banyak pandangan dan keyakinan saling bersaing, kita perlu berhati-hati agar tidak terjebak dalam pembenaran diri yang dangkal. Alih-alih hanya berbuat apa yang terasa benar bagi kita, kita harus berusaha untuk memahami apa yang benar secara fundamental, apa yang adil, dan apa yang sesuai dengan standar moral yang lebih tinggi. Kejujuran intelektual dan kerendahan hati adalah kunci untuk menghindari jebakan pemikiran egois yang bisa menyesatkan.
Mencari bimbingan, mempertimbangkan perspektif orang lain, dan merujuk pada prinsip-prinsip kebaikan universal adalah langkah-langkah penting untuk mendekati keadilan yang sejati. Periode yang digambarkan dalam Kitab Hakim-hakim menjadi sebuah pelajaran historis yang berharga, menunjukkan konsekuensi ketika otoritas dan kebenaran objektif diabaikan. Melalui refleksi terhadap ayat ini dan konteksnya, kita dapat lebih menghargai pentingnya keadilan yang teguh, prinsip-prinsip moral yang kokoh, dan upaya berkelanjutan untuk bertindak sesuai dengan apa yang benar, bukan hanya apa yang terlihat benar di mata kita sendiri.