Keadilan Kebijaksanaan

Hakim 17:5

"Dan ia berkata kepadanya: 'Aku dengar baik-baik segala perkataanmu. Tetapi aku, siapakah aku ini, sehingga aku dapat membedakan yang baik dari yang jahat? Biarlah anakmu inilah yang akan mengurus aku, supaya aku dapat makan rotiku dan memakai pakaianku, dan pulang dengan selamat.'"

Menyelami Makna Keadilan dan Tanggung Jawab

Ayat Hakim 17:5 menyajikan sebuah dialog yang sarat makna, mengungkapkan kompleksitas hubungan manusia dan pertanggungjawaban yang menyertainya. Dalam konteks cerita yang lebih luas, ayat ini berfokus pada percakapan antara Mikha, seorang pria dari pegunungan Efraim, dengan seorang Lewi muda yang ia temui. Namun, inti dari percakapan ini melampaui narasi spesifik dan merambah pada tema universal tentang keadilan, kebijaksanaan, dan pengakuan atas keterbatasan diri.

Pernyataan sang Lewi, "Aku dengar baik-baik segala perkataanmu. Tetapi aku, siapakah aku ini, sehingga aku dapat membedakan yang baik dari yang jahat?" adalah pengakuan yang jujur atas ketidakmampuannya untuk memberikan bimbingan atau keputusan moral yang berarti. Ini bukan sekadar ungkapan kerendahan hati, melainkan sebuah pengakuan yang mendalam tentang pentingnya sumber otoritas yang lebih tinggi dalam menentukan apa yang benar dan salah. Dalam situasi di mana ia diminta untuk memberikan arahan atau mengambil peran yang signifikan, ia secara sadar menolak klaim atas kebijaksanaan tersebut.

Permintaan selanjutnya, "Biarlah anakmu inilah yang akan mengurus aku, supaya aku dapat makan rotiku dan memakai pakaianku, dan pulang dengan selamat," menunjukkan pergeseran fokus dari peran moral ke peran pelayanan yang lebih pragmatis. Ia ingin dipekerjakan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, bukan untuk memikul beban tanggung jawab spiritual atau moral yang di luar kemampuannya. Hal ini menggarisbawahi pentingnya kejelasan peran dan batasan dalam setiap interaksi, terutama ketika menyangkut perkara yang bersifat fundamental.

Konteks ayat Hakim 17:5 juga penting untuk dipahami. Era Hakim-hakim adalah masa di mana Israel sedang mengalami periode ketidakstabilan dan ketiadaan kepemimpinan yang kuat. "Setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri," adalah ungkapan yang seringkali mendefinisikan periode ini. Di tengah kekacauan semacam itu, pengakuan atas ketidakmampuan untuk membedakan yang baik dari yang jahat menjadi semakin relevan. Ini mengingatkan kita bahwa dalam mencari keadilan, kita tidak boleh mengabaikan prinsip-prinsip moral yang telah ditetapkan.

Lebih jauh lagi, ayat ini secara implisit berbicara tentang tanggung jawab moral yang melekat pada setiap individu. Meskipun sang Lewi menyatakan ketidakmampuannya, ia tetap berada dalam posisi di mana tindakannya atau ketidakbertindakannya memiliki konsekuensi. Ini adalah pengingat bahwa bahkan ketika kita merasa tidak mampu memimpin atau menentukan, partisipasi kita dalam komunitas tetap penting dan membutuhkan kesadaran akan dampak perbuatan kita. Pengakuan atas keterbatasan adalah langkah pertama yang krusial menuju pertumbuhan dan pemahaman yang lebih mendalam tentang keadilan dan kebenaran.

Dalam kehidupan modern, ayat Hakim 17:5 dapat menjadi cermin bagi kita. Apakah kita seringkali merasa terbebani oleh tuntutan untuk selalu benar atau memiliki semua jawaban? Apakah kita mampu mengakui keterbatasan kita dan mencari bimbingan dari sumber yang lebih tinggi atau dari mereka yang memiliki pemahaman yang lebih dalam? Refleksi terhadap ayat ini dapat membantu kita menavigasi kompleksitas kehidupan dengan lebih bijaksana, menghargai kejujuran, dan mengutamakan keadilan dalam setiap langkah yang kita ambil.