Hakim 18

"Pada zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel; setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri."

Keadilan dalam Anarki Mencari Pedoman di Tengah Ketidakpastian

Kisah yang terukir dalam Hakim pasal 18 melukiskan sebuah periode kelam dalam sejarah bangsa Israel. Ayat pembuka yang menyatakan, "Pada zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel; setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri," menjadi gambaran yang sangat kuat tentang kondisi moral dan sosial yang merosot. Tanpa kepemimpinan yang jelas dan otoritas yang diakui, individu cenderung bertindak berdasarkan keinginan pribadi, bukan pada hukum ilahi atau keadilan yang universal. Situasi ini sering kali mengarah pada kekacauan, kebingungan, dan praktik-praktik yang menyimpang dari ajaran yang seharusnya.

Dalam konteks inilah, kisah suku Dan memulai perjalanannya mencari tanah warisan yang lebih luas. Terdesak oleh tekanan dari bangsa Filistin, mereka mengirim mata-mata untuk menjelajahi wilayah baru. Perjalanan ini membawa mereka hingga ke pegunungan Efraim, tempat mereka bertemu dengan Mikha, seorang pria yang telah mendirikan sebuah tempat penyembahan pribadi, lengkap dengan efod dan terafim, bahkan mempekerjakan seorang Lewi sebagai imamnya. Peristiwa ini menyoroti penyimpangan agama yang telah merajalela, di mana praktik-praktik pribadi yang tidak sesuai dengan perintah Tuhan dijalankan secara bebas.

Mata-mata suku Dan, melihat potensi dan kekayaan yang dimiliki Mikha, kembali dengan cerita yang memicu hasrat suku mereka. Mereka meyakinkan seluruh suku Dan untuk berhijrah, bahkan merampas patung-patung berhala dan efod dari rumah Mikha, serta membujuk imam Lewi tersebut untuk bergabung dengan mereka. Tindakan ini menunjukkan betapa mudahnya prinsip-prinsip moral dilanggar demi keuntungan pribadi dan kelompok. Kekerasan dan penipuan digunakan tanpa ragu, mengabaikan hak orang lain, bahkan perampasan barang-barang suci pun terjadi.

Perjalanan mereka berlanjut hingga ke kota Lais, yang mereka temukan berpenghuni tenang dan damai, tanpa pertahanan yang memadai. Dengan kekuatan yang lebih besar, suku Dan menyerbu Lais, membunuhnya seluruh penduduknya, dan mendudukinya. Mereka kemudian mengubah nama kota itu menjadi Dan, dan mendirikan patung berhala Mikha di sana, menjadikannya pusat penyembahan yang sesat. Warisan ini terus berlanjut "selama rumah Allah ada di Silo," menunjukkan dampak jangka panjang dari keputusan yang diambil atas dasar ketidakadilan dan penyimpangan moral.

Kisah Hakim 18 adalah sebuah peringatan keras tentang bahaya anarki moral dan spiritual. Tanpa panduan ilahi dan komitmen terhadap kebenaran, masyarakat rentan terhadap kehancuran, baik dari dalam maupun dari luar. Ia mengingatkan kita akan pentingnya integritas, keadilan, dan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip etika yang lebih tinggi. Meskipun pada masa itu tidak ada raja, ada otoritas yang lebih agung, yaitu Tuhan dan hukum-Nya. Kegagalan untuk mengakui dan mengikuti otoritas ini membawa kesengsaraan dan kehancuran, sebuah pelajaran yang tetap relevan hingga kini.

Kisah ini juga menyoroti bagaimana godaan kekuasaan dan kenyamanan bisa mengaburkan penilaian moral. Suku Dan, yang seharusnya menjadi penjaga hukum Tuhan, justru menjadi pelaku ketidakadilan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak peduli siapa kita atau dari mana kita berasal, godaan untuk melakukan apa yang "benar menurut pandangan sendiri" selalu ada. Namun, kebenaran sejati tidak ditentukan oleh pandangan pribadi, melainkan oleh standar ilahi yang kekal. Oleh karena itu, kita dipanggil untuk terus mencari kebenaran, berpegang teguh pada prinsip keadilan, dan membiarkan terang ilahi memandu setiap langkah kita, agar tidak tersesat dalam kegelapan anarki moral.