"Aku bodoh, tidak mengerti, seperti binatang menjadi temanmu."
Ayat ini dari Mazmur 73, yang ditulis oleh Asaf, merenungkan sebuah periode ketika ia hampir goyah imannya karena melihat kemakmuran orang fasik. Ia menyaksikan betapa mudahnya orang jahat hidup tanpa penderitaan, bahkan tampaknya menikmati keberuntungan yang luar biasa. Pergolakan batin ini membawanya pada pengakuan diri yang mendalam, seperti yang tertuang dalam ayat yang kita bahas. "Aku bodoh, tidak mengerti," adalah pengakuan Asaf atas ketidakmampuannya memahami rencana Allah yang seringkali tampak misterius di mata manusia. Ia mengakui bahwa pemikirannya terlalu terbatas untuk sepenuhnya mengerti mengapa kebaikan seringkali tampaknya berpihak pada orang yang menjauhi Tuhan, sementara orang yang setia kadang harus menghadapi kesulitan.
Ungkapan "seperti binatang menjadi temanmu" bukanlah sebuah penghinaan terhadap binatang itu sendiri, melainkan sebuah pengakuan akan ketidakmampuan Asaf untuk berpikir dan bertindak sesuai dengan hikmat ilahi. Hewan, dalam pandangan manusia, bertindak berdasarkan naluri, tanpa pemahaman moral atau rohani. Dengan perumpamaan ini, Asaf menyatakan bahwa dalam kebodohannya, ia merasa kehilangan arah rohani, seolah-olah ia hanya bertindak berdasarkan dorongan semata tanpa tuntunan yang benar dari Tuhan. Ia merasa tertinggal, terasing dari kebenaran yang seharusnya membimbing langkahnya. Keadaan ini tentu sangat menyakitkan bagi seorang yang rindu akan keadilan dan kebenaran ilahi.
Namun, perikop ini tidak berhenti pada pengakuan kebodohan. Melalui pergumulan ini, Asaf akhirnya menemukan perspektif baru di Bait Suci Allah. Ia menyadari bahwa pandangannya terlalu sempit ketika hanya berfokus pada apa yang terlihat di dunia ini. Ia mulai memahami bahwa meskipun orang fasik mungkin menikmati kesuksesan sesaat, nasib akhir mereka berbeda jauh dari orang yang setia kepada Allah. Kebaikan yang sesungguhnya, kebahagiaan yang langgeng, dan kedamaian batin hanya dapat ditemukan dalam hubungan yang benar dengan Sang Pencipta. Mazmur 73:23-28 kemudian menjelaskan transformasi ini, di mana Asaf menyadari bahwa ia selalu berada dalam genggaman Tuhan, dan bahwa Tuhan akan menerimanya dengan kemuliaan.
Kisah Asaf mengingatkan kita bahwa iman seringkali diuji melalui ketidakpahaman dan keraguan. Ketika kita melihat ketidakadilan yang tampaknya merajalela di dunia, mudah bagi kita untuk merasa seperti Asaf, meragukan kebaikan dan keadilan Tuhan. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh kelanjutan mazmur ini, kuncinya adalah membawa pergumulan kita ke hadapan Tuhan, mencari hikmat-Nya, dan mengarahkan pandangan kita pada kekekalan. Pengakuan kelemahan diri adalah langkah awal menuju pemulihan dan pendalaman iman. Dengan tetap dekat kepada Tuhan, bahkan di tengah ketidakpastian, kita dapat menemukan kekuatan dan pengertian yang melampaui keterbatasan pemikiran manusia. Keterikatan pada Tuhanlah yang akan memberikan arah sejati dan kedamaian abadi, jauh melampaui keuntungan sementara yang mungkin dinikmati oleh mereka yang menjauh dari-Nya.