Hakim-Hakim 18-22

"Dalam zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel; setiap orang berbuat apa yang benar di matanya sendiri." (Hakim-hakim 17:6)

Menyelami Bab 18-22 Kitab Hakim-Hakim

Kitab Hakim-hakim merupakan bagian krusial dalam sejarah bangsa Israel kuno, menceritakan periode setelah kematian Yosua hingga masa sebelum pemerintahan raja-raja. Bab 18 hingga 22 dari kitab ini menghadirkan serangkaian kisah yang kompleks, penuh dengan intrik, penyembahan berhala, dan konflik internal. Bab-bab ini sering kali terasa suram, mencerminkan anarki sosial dan spiritual yang melanda bangsa Israel di masa itu. Namun, di balik kekacauan ini, tersembunyi pelajaran berharga tentang konsekuensi dari ketidaktaatan dan pentingnya fondasi iman yang teguh.

Secara khusus, pasal 18 mencatat tentang bagaimana suku Dan, yang belum sepenuhnya mengamankan warisan tanah mereka, mencari wilayah baru. Dalam perjalanan mereka, mereka mencuri patung berhala dan ilah-ilah dari rumah Mikha, seorang Lewi. Peristiwa ini menunjukkan betapa mudahnya bangsa Israel tergelincir ke dalam penyembahan berhala, bahkan oleh orang-orang yang seharusnya menjadi pemimpin rohani. Kisah ini menjadi gambaran nyata dari kalimat pembuka yang sering dikutip dari pasal 17: "Dalam zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel; setiap orang berbuat apa yang benar di matanya sendiri." Frasa ini bukan sekadar deskripsi, melainkan sebuah diagnosis mendalam tentang krisis moral dan spiritual yang melanda bangsa tersebut. Tanpa otoritas pusat yang menegakkan hukum ilahi, individu dan kelompok cenderung mengikuti keinginan dan pemahaman mereka sendiri, yang sering kali mengarah pada penyimpangan dan kekacauan.

Melanjutkan ke pasal 19, kita disajikan dengan kisah yang sangat tragis tentang seorang Lewi dan gundiknya. Peristiwa ini berujung pada kekejaman yang mengerikan di Gibea, yang kemudian memicu perang saudara antara suku-suku Israel. Kekejaman yang digambarkan sangatlah brutal dan memilukan, menyoroti degradasi moral yang luar biasa di kalangan bangsa Israel. Perilaku keji ini bukan hanya pelanggaran terhadap hukum kemanusiaan, tetapi juga pelanggaran serius terhadap perintah Allah. Konsekuensi dari tindakan ini sangat mengerikan, menyebabkan hampir punahnya suku Benyamin dan memberikan pukulan telak bagi persatuan bangsa Israel.

Pasal 20 dan 21 menjelaskan respons bangsa Israel terhadap kekejaman di Gibea. Mereka bersidang dan memutuskan untuk menghukum suku Benyamin. Peristiwa ini mengungkapkan betapa seriusnya dosa yang telah terjadi, dan bagaimana bangsa Israel, meskipun dalam keadaan yang terpecah belah, masih memiliki kesadaran akan perlunya keadilan ilahi. Namun, cara mereka mendapatkan istri baru untuk para penyintas Benyamin, melalui serangan ke Yabes-Gilead dan penculikan wanita dari Silo, sekali lagi menunjukkan bagaimana mereka bertindak berdasarkan kebutuhan praktis tanpa sepenuhnya meninjau kembali prinsip-prinsip moral dan spiritual yang mendasarinya.

Secara keseluruhan, bab 18-22 Kitab Hakim-hakim melukiskan gambaran suram tentang bangsa yang kehilangan arah spiritualnya. Kisah-kisah ini menjadi pengingat yang kuat bahwa keberadaan tanpa kepemimpinan ilahi yang jelas dan ketaatan yang konsisten dapat membawa pada jurang kehancuran moral. Namun, di tengah kegelapan ini, tetap ada jejak iman dan harapan bahwa melalui penghukuman dan pemurnian, bangsa Israel dapat belajar kembali pentingnya hidup sesuai dengan kehendak Allah. Pelajaran dari pasal-pasal ini tetap relevan hingga kini, mengajak kita untuk merefleksikan bagaimana kita mengintegrasikan prinsip-prinsip ilahi dalam kehidupan pribadi dan kolektif kita, memastikan bahwa kita tidak hanya berbuat apa yang benar di mata kita sendiri, tetapi yang terutama, apa yang benar di hadapan Pencipta kita.