"Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia mencapai usia dewasa(nya). Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti akan dimintai pertanggungan jawabnya." (QS. Al-Isra' [17]: 34)
Konsep mengenai usia seorang hakim memang sangat bervariasi di berbagai sistem hukum di seluruh dunia. Namun, mari kita fokus pada rentang usia 18 hingga 23 tahun. Rentang usia ini seringkali diidentikkan dengan masa transisi dari remaja menuju dewasa muda, masa pencarian jati diri, dan masa pembangunan fondasi pendidikan tinggi. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, mungkinkah seseorang pada usia tersebut, yang baru saja menyelesaikan pendidikan formal tingkat menengah atau bahkan sedang menempuh pendidikan tinggi, memegang tanggung jawab besar sebagai seorang hakim?
Jika kita mengacu pada sistem peradilan yang umum, seorang hakim biasanya membutuhkan pengalaman bertahun-tahun dalam bidang hukum, mulai dari pendidikan lanjutan di fakultas hukum, magang, hingga bekerja sebagai advokat atau panitera. Proses ini tentu memakan waktu yang signifikan, melebihi batas usia 23 tahun. Namun, jika kita membayangkan skenario alternatif atau model peradilan yang sangat spesifik, di mana peran hakim lebih bersifat fasilitator, mediasi, atau menangani kasus-kasus yang lebih sederhana dan bersifat restoratif, maka ide tentang hakim berusia 18 hingga 23 tahun bisa menjadi bahan diskusi menarik.
Pendidikan tinggi di bidang hukum biasanya memakan waktu minimal empat tahun. Setelah lulus, banyak yang melanjutkan pendidikan spesialisasi atau mengambil ujian profesi. Dengan demikian, sangat sulit membayangkan seseorang yang berusia 18 hingga 23 tahun sudah memiliki kualifikasi dan kedalaman pemahaman hukum yang memadai untuk mengambil keputusan peradilan yang krusial. Namun, dalam konteks yang sangat terbatas, misalnya peradilan anak yang berhadapan dengan hukum di negara-negara tertentu, mungkin ada mekanisme yang melibatkan individu muda dalam proses ajudikasi, dengan supervisi ketat dari hakim yang lebih berpengalaman.
Meskipun peran formal sebagai hakim di usia tersebut sangat tidak mungkin dalam sistem hukum konvensional, semangat yang terkandung dalam ide ini bisa diarahkan pada program-program edukasi hukum dini dan partisipasi civitas akademika muda. Melibatkan mahasiswa hukum berusia 18 hingga 23 tahun dalam simulasi persidangan, kompetisi moot court, atau kegiatan advokasi sosial bisa menjadi cara yang efektif untuk menumbuhkan rasa keadilan dan pemahaman hukum mereka. Hal ini sesuai dengan amanat ayat Al-Isra' [17]: 34 yang menekankan pentingnya menjaga amanah dan memenuhi janji hingga mencapai kedewasaan, yang secara analogis juga berlaku pada pembentukan karakter dan pemahaman hukum sejak dini.
Kemampuan untuk berpikir kritis, menganalisis fakta, dan memahami implikasi moral dari sebuah keputusan adalah kualitas yang sangat penting bagi seorang hakim. Usia 18 hingga 23 tahun adalah masa krusial untuk mengembangkan kemampuan tersebut melalui pendidikan dan pengalaman. Mungkin bukan sebagai hakim yang membuat putusan akhir, tetapi sebagai agen perubahan yang memahami prinsip-prinsip keadilan. Inovasi dalam sistem peradilan di masa depan bisa saja mengeksplorasi berbagai model partisipatif yang memungkinkan suara kaum muda didengar, tentunya dengan tetap menjaga integritas dan prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Mempersiapkan generasi muda untuk memahami dan menjunjung tinggi keadilan adalah investasi jangka panjang yang tak ternilai harganya bagi masa depan bangsa.