"Lalu berdirilah Mikha, dan mendirikan berhala itu, dan membuat salah satu anaknya menjadi imamnya, untuk menjaganya."
Kisah dari Kitab Hakim, khususnya pasal 18 ayat 31, menghadirkan sebuah gambaran yang kompleks mengenai kehidupan spiritual dan sosial bangsa Israel pada masa itu. Ayat ini merupakan bagian dari narasi yang menceritakan tentang suku Dan yang mencari wilayah baru untuk didiami, dan dalam prosesnya, mereka menjarah sebuah kuil pribadi milik seorang bernama Mikha. Peristiwa ini menyoroti periode kekacauan, di mana ketiadaan kepemimpinan yang kuat dan kepatuhan terhadap hukum Tuhan memungkinkan terjadinya berbagai praktik penyembahan berhala dan penyimpangan moral.
Dalam konteks ini, istilah hakim hakim merujuk bukan hanya pada para pemimpin spiritual atau pengadilan, tetapi juga pada para pemimpin bangsa yang ditunjuk Tuhan untuk membebaskan dan memimpin Israel dari penindasan musuh. Namun, kisah Mikha dan suku Dan menunjukkan bahwa pada periode akhir masa Hakim-hakim, moralitas dan keadilan telah terkikis. Mikha mendirikan sebuah tempat ibadah pribadi dengan patung-patung berhala dan bahkan mengangkat salah satu anaknya menjadi imam. Ini adalah tindakan yang jelas bertentangan dengan ajaran Taurat yang menetapkan bahwa ibadah hanya boleh dilakukan di tempat yang ditentukan Tuhan dan oleh keturunan Lewi yang sah.
Peran hakim hakim pada masa-masa seperti ini menjadi semakin krusial, meskipun sejarah mencatat bahwa kepemimpinan seringkali tidak konsisten dan jauh dari ideal. Ketika moralitas publik menurun, figur-figur yang seharusnya menjadi teladan justru turut berperan dalam penyimpangan tersebut. Mikha, dengan membangun kuil berhalanya sendiri, menciptakan sebuah sistem keagamaan palsu yang didasarkan pada keinginan pribadinya, bukan pada firman Tuhan. Ini menunjukkan bagaimana mudahnya manusia jatuh ke dalam kesesatan ketika tidak ada pengawasan yang ketat dan ketaatan yang tulus.
Ayat hakim hakim 18 31 bukan sekadar catatan sejarah kuno, melainkan sebuah pelajaran yang relevan hingga kini. Ia mengajarkan tentang bahaya memanipulasi atau menciptakan agama sesuai dengan keinginan pribadi. Keadilan sejati, yang seharusnya menjadi ciri para pemimpin dan bangsa yang taat Tuhan, tidak dapat dicapai melalui cara-cara yang menyimpang. Sebaliknya, ketaatan yang tulus pada prinsip-prinsip ilahi adalah fondasi utama bagi ketertiban dan keadilan.
Kisah ini juga menunjukkan konsekuensi dari ketidakmampuan untuk membedakan antara yang benar dan yang salah, antara ibadah yang murni dan penyembahan berhala. Ketika pondasi spiritual goyah, maka seluruh tatanan sosial dan moral pun akan terpengaruh. Oleh karena itu, penting bagi setiap individu dan masyarakat untuk terus-menerus merefleksikan tindakan mereka, memastikan bahwa segala sesuatu dilakukan sesuai dengan kebenaran dan kehendak Tuhan, bukan sekadar berdasarkan tradisi atau keinginan sesaat. Peristiwa hakim hakim 18 31 menjadi pengingat abadi tentang pentingnya integritas spiritual dan moral.