Hakim 2:19

Tetapi apabila hakim itu mati, mereka itu kembali berkelakuan sumbang dan lebih jahat dari pada nenek moyang mereka, mengikuti allah-allah lain, untuk berbakti kepadanya dan sujud kepadanya, mereka tidak menanggalkan perbuatan dan kekerasan kelakuan mereka.

Keadilan yang Berfluktuasi: Siklus Pengkhianatan dan Pemulihan

Kitab Hakim dalam Alkitab menceritakan sebuah periode yang penuh gejolak dalam sejarah bangsa Israel, yaitu masa setelah kematian Yosua dan para pemimpin generasinya. Periode ini ditandai oleh siklus berulang pengkhianatan terhadap Tuhan, hukuman ilahi, dan akhirnya pemulihan melalui para hakim yang diutus oleh-Nya. Ayat Hakim 2:19 secara ringkas menggambarkan inti dari masalah yang dihadapi bangsa ini: ketidakmampuan mereka untuk mempertahankan kesetiaan kepada Tuhan setelah kematian pemimpin yang saleh.

Frasa "apabila hakim itu mati, mereka itu kembali berkelakuan sumbang" menyoroti betapa rapuhnya komitmen spiritual bangsa Israel. Kesetiaan mereka tampaknya sangat bergantung pada kehadiran fisik para pemimpin yang membimbing dan mengingatkan mereka tentang perjanjian dengan Tuhan. Tanpa figur otoritas yang kuat, mereka dengan mudah terjerumus kembali ke dalam pola perilaku yang tidak berkenan di hadapan Tuhan. "Berkelakuan sumbang" menunjukkan penyimpangan dari jalan kebenaran, kecenderungan untuk melakukan tindakan yang tidak pantas dan merusak.

Lebih jauh lagi, ayat ini menegaskan bahwa mereka tidak hanya kembali ke perilaku lama, tetapi "lebih jahat dari pada nenek moyang mereka". Ini menunjukkan adanya peningkatan dalam tingkat kesesatan mereka. Mereka tidak hanya mengulangi kesalahan generasi sebelumnya, tetapi juga melampauinya. "Mengikuti allah-allah lain, untuk berbakti kepadanya dan sujud kepadanya" adalah inti dari pengkhianatan mereka. Mereka meninggalkan Tuhan yang telah membebaskan mereka dari perbudakan di Mesir dan membawa mereka ke Tanah Perjanjian, untuk menyembah berhala-berhala asing yang menawarkan kesenangan sesaat namun kosong.

Penggambaran ini sangat relevan bahkan dalam konteks masa kini. Seringkali, institusi atau kelompok masyarakat yang telah mencapai kemajuan atau stabilitas, dapat mengalami kemunduran jika fondasi moral dan spiritualnya tidak kokoh. Keberlangsungan kebaikan dan keadilan sangat bergantung pada warisan nilai-nilai yang diajarkan dan dipraktikkan secara konsisten, bukan hanya oleh para pemimpin, tetapi oleh seluruh anggota masyarakat.

Ayat Hakim 2:19 juga memberikan pelajaran penting mengenai konsekuensi dari ketidaktaatan. "Mereka tidak menanggalkan perbuatan dan kekerasan kelakuan mereka" mengindikasikan keengganan untuk meninggalkan kebiasaan buruk dan praktik yang merugikan. Ini bukan sekadar kesalahan sesaat, melainkan pola perilaku yang mengakar dan sulit diubah. Tanpa upaya sadar untuk membersihkan diri dari pengaruh negatif dan kembali kepada prinsip-prinsip yang benar, maka siklus kejatuhan akan terus berulang.

Pesan dari Hakim 2:19 adalah seruan untuk kewaspadaan spiritual dan komitmen yang mendalam. Keadilan dan kebenaran yang murni tidak dapat dipertahankan hanya dengan kebijakan atau kepemimpinan yang baik sementara; ia membutuhkan fondasi iman yang kuat dan kesediaan individu untuk secara pribadi hidup sesuai dengan nilai-nilai luhur. Ketika fondasi itu goyah, bahkan kemajuan terbesar pun dapat dengan mudah runtuh.

Simbol keseimbangan dan keadilan.