"Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Kami turunkan (Al-Qur'an), yang membenarkan apa (kitab) yang ada pada kamu, dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit (murah), dan bertakwalah kepada-Ku."
Ayat Al-Baqarah 20:44 merupakan pengingat yang kuat tentang kewajiban umat Islam untuk beriman kepada Al-Qur'an, kitab suci yang diwahyukan oleh Allah SWT. Ayat ini menekankan bahwa Al-Qur'an datang untuk membenarkan kitab-kitab samawi sebelumnya, termasuk Taurat, Zabur, dan Injil, yang telah diturunkan kepada para nabi terdahulu. Ini adalah bukti universalitas ajaran Islam dan kesinambungannya dengan risalah para nabi sebelumnya.
Pesan penting lainnya dalam ayat ini adalah larangan untuk menjadi orang yang pertama kali mengingkari (kafir) terhadap kebenaran Al-Qur'an. Hal ini seringkali ditujukan kepada ahli kitab yang seharusnya menyambut kedatangan nabi terakhir dan kitab suci terakhir dengan keyakinan, bukan penolakan. Sikap menolak kebenaran yang datang dari Allah, meskipun itu baru, adalah sebuah kekufuran yang sangat tercela. Lebih jauh lagi, ayat ini melarang keras untuk menukarkan ayat-ayat Allah dengan sesuatu yang berharga di dunia ini, seperti harta, kekuasaan, atau kedudukan. Ini berarti tidak boleh ada kompromi dalam memegang teguh kebenaran ilahi demi keuntungan duniawi yang fana.
Konsep hakim dalam konteks ayat ini merujuk pada Allah SWT sebagai pembuat syariat dan hakim tertinggi atas segala sesuatu. Namun, dalam kehidupan sehari-hari, konsep hakim juga sangat relevan dalam konteks peradilan. Seorang hakim manusia memiliki tugas mulia untuk menegakkan keadilan sesuai dengan hukum dan prinsip-prinsip yang digariskan oleh Allah SWT. Keadilan adalah salah satu pilar utama dalam Islam, dan seorang hakim haruslah memiliki integritas, kejujuran, dan keberanian untuk memutuskan perkara tanpa memihak, tanpa rasa takut, dan tanpa pamrih.
Kehidupan modern seringkali menghadirkan tantangan bagi para hakim. Tekanan dari berbagai pihak, godaan materi, serta kompleksitas kasus yang dihadapi dapat menguji keteguhan moral mereka. Ayat 20:44 mengingatkan bahwa setiap tindakan, terutama yang berkaitan dengan penegakan hukum dan keadilan, akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Oleh karena itu, seorang hakim sejati harus senantiasa bertakwa kepada Allah, menjauhi segala bentuk ketidakadilan, dan menjadikan kebenaran sebagai kompas dalam setiap putusannya.
Menerjemahkan semangat ayat ini ke dalam praktik peradilan berarti memastikan bahwa setiap individu mendapatkan haknya, bahwa kebenaran terungkap, dan bahwa keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu. Ini juga berarti bahwa proses peradilan harus transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Mengingat peringatan keras dalam ayat ini tentang menukar ayat Allah dengan harga sedikit, seorang hakim tidak boleh tergoda oleh suap atau gratifikasi yang dapat merusak integritas dan mengkhianati amanah umat. Menjadi hakim yang adil adalah cerminan dari ketaatan kepada Allah dan upaya untuk menciptakan masyarakat yang damai dan harmonis di bawah naungan keadilan ilahi.
Keberadaan ayat ini menegaskan bahwa keadilan adalah nilai fundamental yang dianjurkan oleh agama. Para hakim, baik di masa lalu maupun di masa kini, diharapkan untuk menjadi representasi dari keadilan Ilahi di muka bumi. Dengan memegang teguh nilai-nilai ketakwaan dan kebenaran, mereka dapat menjalankan tugas mereka dengan sebaik-baiknya, menjadi penjaga amanah, dan berkontribusi pada tegaknya supremasi hukum yang berakar pada ajaran suci.