"Sebab tidak ada satu pun dari kitakah yang dapat berdiri di hadapan-Nya, Allah yang kudus itu?"
Visualisasi sederhana tentang jurang pemisah antara manusia dan kekudusan Tuhan.
Ayat Hakim 3:20 bukanlah sekadar rangkaian kata, melainkan sebuah pengakuan mendalam tentang sifat dasar manusia di hadapan kesempurnaan ilahi. Di tengah pergolakan sejarah bangsa Israel, para hakim berfungsi sebagai pemimpin yang diutus Tuhan untuk membebaskan umat-Nya dari penindasan musuh. Namun, di balik peran heroik mereka, tersembunyi realitas spiritual yang fundamental: ketidakmampuan total manusia untuk berdiri tegak di hadapan Allah yang kudus.
Kata "kudus" dalam konteks Alkitab mengandung makna kesucian, keterpisahan dari dosa, dan kesempurnaan mutlak. Tuhan adalah satu-satunya yang memiliki standar kekudusan yang tidak terjangkau oleh ciptaan-Nya. Pertanyaan retoris yang diajukan dalam ayat ini—"Sebab tidak ada satu pun dari kitakah yang dapat berdiri di hadapan-Nya, Allah yang kudus itu?"—menekankan jurang pemisah yang lebar antara manusia yang berdosa dan Allah yang Maha Suci.
Pengakuan ini membawa beberapa implikasi penting bagi pemahaman kita tentang hubungan dengan Tuhan. Pertama, ia menyoroti bahwa keselamatan dan perkenanan di hadapan Allah bukanlah hasil dari usaha, kebaikan, atau kehebatan manusia. Sebaliknya, manusia membutuhkan campur tangan ilahi yang radikal untuk dapat mendekat kepada Tuhan. Kita tidak bisa mengandalkan kekuatan kita sendiri, prestasi kita, atau kesalehan kita yang terbatas.
Kedua, ayat ini menunjuk pada kebutuhan akan perantaraan. Karena ketidakmampuan kita untuk berdiri sendiri di hadapan kekudusan-Nya, kita memerlukan seseorang yang dapat menjembatani jurang pemisah itu. Sejarah keselamatan dalam Alkitab menunjukkan bahwa Allah sendiri yang menyediakan jalan melalui pengorbanan dan kebangkitan Yesus Kristus, sang Perantara sempurna antara Allah dan manusia. Melalui Dia, kita yang sebelumnya tidak mampu, kini dapat diperdamaikan dan memiliki akses kepada Bapa.
Meskipun ayat ini mungkin terdengar menakutkan, ia sebenarnya adalah permulaan dari berkat yang lebih besar. Kesadaran akan ketidakmampuan kita justru mendorong kita untuk bersandar sepenuhnya pada kasih karunia dan kuasa Tuhan. Ketika kita berhenti mencoba "berdiri sendiri" dan mengakui ketergantungan kita, kita membuka diri untuk menerima apa yang hanya bisa diberikan oleh Tuhan: pengampunan, pemulihan, dan hidup yang baru dalam kekudusan-Nya.
Kisah para hakim, meskipun penuh dengan kegagalan manusia, juga merupakan bukti setia Tuhan yang terus membangkitkan penyelamat bagi umat-Nya. Hakim 3:20 mengingatkan kita bahwa sumber kekuatan dan keamanan kita bukanlah pada diri sendiri, melainkan pada Tuhan yang mahakuasa dan Maha Pengasih. Dengan kerendahan hati mengakui keterbatasan kita, kita dapat mengalami kebebasan dan sukacita dalam hidup yang sepenuhnya bergantung pada Dia. Kesadaran akan kekudusan-Nya seharusnya bukan menjadi sumber ketakutan yang melumpuhkan, melainkan motivasi untuk mencari perlindungan dan pembaruan dalam Pribadi-Nya yang setia.