"Sementara itu Otniel menunggu sampai mereka malu; sesudah itu ia menyuruh mengambilnya kembali."
Ayat dari kitab Hakim-hakim 3:26 ini, meskipun ringkas, menyimpan sebuah pelajaran mendalam tentang strategi, kesabaran, dan kebijaksanaan ilahi yang diterapkan oleh Otniel, salah satu hakim pertama Israel. Kisah ini berlatar belakang masa ketika bangsa Israel kembali jatuh ke dalam dosa dan dikuasai oleh raja Kusan-Risyataim dari Aram, yang menindas mereka selama delapan tahun. Di tengah keputusasaan ini, Allah membangkitkan Otniel untuk membebaskan umat-Nya.
Setelah Otniel memperoleh kemenangan atas musuh-musuhnya, ayat ini menyoroti sebuah tindakan yang mungkin tampak pasif pada pandangan pertama: "Sementara itu Otniel menunggu sampai mereka malu." Ini bukanlah kekalahan atau keragu-raguan, melainkan sebuah strategi yang cermat. Otniel tidak terburu-buru untuk segera mengakhiri segala sesuatu, tetapi memilih untuk membiarkan situasi "matang" dengan sendirinya. Ada anggapan bahwa para penindas yang kalah dan dipermalukan akan menyadari kesalahan mereka, merasakan penyesalan, atau bahkan merasa malu atas tindakan mereka. Ini adalah cara yang cerdas untuk tidak hanya mencapai kemenangan militer, tetapi juga untuk menanam benih introspeksi dan perubahan pada pihak yang kalah.
Dalam konteks yang lebih luas, tindakan Otniel ini dapat diartikan sebagai gambaran dari kesabaran Allah sendiri. Allah seringkali tidak bertindak seketika untuk menghukum kejahatan, tetapi memberikan kesempatan bagi manusia untuk bertobat dan mengakui kesalahan mereka. Penundaan ini bukan berarti ketidakpedulian, melainkan memberikan ruang bagi pertobatan dan pemulihan. Sikap Otniel mencerminkan prinsip ilahi ini dalam skala manusiawi. Ia tidak hanya menggunakan kekuatan, tetapi juga kecerdasan dan pemahaman tentang psikologi manusia.
Selanjutnya, ayat tersebut melanjutkan, "sesudah itu ia menyuruh mengambilnya kembali." Frasa "mengambilnya kembali" dalam terjemahan bahasa Indonesia ini mengindikasikan sebuah tindakan pemulihan atau pengembalian hak. Dalam konteks sejarah, ini bisa berarti mengembalikan wilayah, harta benda, atau mungkin membawa kembali tawanan. Yang terpenting, tindakan ini dilakukan setelah periode menunggu dan setelah rasa malu dirasakan oleh pihak lawan. Ini menunjukkan bahwa kemenangan Otniel tidak bersifat balas dendam yang membabi buta, melainkan terarah pada pemulihan tatanan yang adil dan pengembalian kedamaian di tanah Israel. Ia tidak menghancurkan musuh tanpa pandang bulu, melainkan menerapkan keadilan yang bijaksana.
Pelajaran yang bisa kita ambil dari Hakim 3:26 sangat relevan dalam kehidupan modern. Dalam konflik atau perselisihan, terkadang pendekatan yang paling efektif bukanlah konfrontasi langsung, melainkan kesabaran yang strategis, menunggu waktu yang tepat, dan membiarkan situasi mengungkapkan dirinya sendiri. Kehati-hatian dalam mengambil tindakan, terutama setelah periode penantian, dapat menghasilkan solusi yang lebih permanen dan mendamaikan. Sikap Otniel mengajarkan kita bahwa kekuatan sejati tidak hanya terletak pada kemampuan untuk menyerang, tetapi juga pada kebijaksanaan untuk menunggu, memahami, dan bertindak dengan adil pada waktu yang tepat. Ini adalah contoh nyata bagaimana iman dan strategi dapat berjalan beriringan dalam menghadapi tantangan.