Hakim-Hakim 8:35 - Kekuatan yang Tak Terduga

"Dan mereka tidak lagi mencari TUHAN, Allah leluhur mereka, yang membebaskan mereka dari tangan musuh-musuh mereka."
Bangkit

Ayat dari Kitab Hakim-hakim 8:35 ini memberikan sebuah refleksi mendalam mengenai sifat manusia dan hubungan mereka dengan Sang Pencipta. Dalam konteks sejarah bangsa Israel, ayat ini sering kali menjadi pengingat akan siklus kejatuhan dan kebangkitan spiritual yang terus berulang. Setelah mengalami kemenangan besar dan pembebasan dari penindasan yang panjang, reaksi umat Israel bukanlah rasa syukur dan kesetiaan yang berkelanjutan, melainkan sebuah kecenderungan untuk melupakan sumber kekuatan sejati mereka.

Kisah dalam Kitab Hakim-hakim sering kali menggambarkan bagaimana bangsa Israel, setelah diselamatkan oleh Tuhan dari berbagai musuh mereka, kemudian berpaling kepada penyembahan berhala dan gaya hidup yang menyimpang. Kemenangan yang diraih atas Midian dan sekutunya melalui Gideon adalah salah satu bukti kehebatan campur tangan ilahi. Namun, alih-alih memelihara ingatan akan pemeliharaan Tuhan ini, mereka justru menjadi terlena dalam kenyamanan dan kemakmuran pasca-kemenangan. Ayat ini secara gamblang menyatakan bahwa mereka "tidak lagi mencari TUHAN, Allah leluhur mereka". Ini bukan hanya tentang kelalaian, tetapi sebuah penolakan sadar untuk terus berhubungan dengan sumber kehidupan dan keselamatan mereka.

Fenomena ini memiliki relevansi yang kuat hingga masa kini. Dalam kehidupan pribadi maupun kolektif, kita sering kali melihat pola yang serupa. Ketika menghadapi kesulitan, ancaman, atau penderitaan, manusia cenderung mencari perlindungan, harapan, dan kekuatan dari sumber yang lebih tinggi, termasuk dari Tuhan. Doa menjadi lebih tekun, ibadah lebih khusyuk, dan komitmen terhadap prinsip-prinsip spiritual semakin diperkuat. Kita mengakui ketergantungan kita pada kuasa yang lebih besar.

Namun, begitu badai berlalu, situasi membaik, dan kenyamanan kembali diraih, godaan untuk kembali ke pola hidup lama sering kali tak tertahankan. Kita menjadi sibuk dengan urusan duniawi, terlena dalam kesuksesan materi, atau sekadar menikmati kedamaian tanpa disadari bahwa kedamaian itu sendiri adalah anugerah. Akibatnya, hubungan dengan Tuhan menjadi renggang. Doa menjadi jarang, Firman Tuhan terabaikan, dan rasa syukur menjadi hal yang basa-basi. Kita mungkin tidak secara terang-terangan meninggalkan Tuhan, tetapi kita berhenti "mencari" Dia dengan sungguh-sungguh.

Ayat Hakim-hakim 8:35 menjadi panggilan untuk introspeksi. Ini mendorong kita untuk memeriksa hati kita: apakah kita hanya mencari Tuhan saat membutuhkan, ataukah kita senantiasa menjalin hubungan yang erat dengan-Nya? Kebangkitan spiritual bukanlah sekadar momen sekali waktu, melainkan sebuah proses berkelanjutan. Memelihara hubungan dengan Tuhan membutuhkan usaha yang disengaja, yaitu dengan terus mencari-Nya melalui doa, Firman, dan komunitas. Ingatan akan pembebasan dan pertolongan Tuhan di masa lalu seharusnya menjadi fondasi untuk kesetiaan di masa kini dan masa depan. Jangan sampai kita, seperti bangsa Israel, lupa bahwa sumber kekuatan dan anugerah terbesar datang dari Dia yang tak pernah berubah.