"Dan mereka berkata satu sama lain, 'Lihatlah, marilah kita pergi dan berperang melawan Sikhem; kita akan menghancurkan mereka, dan kita akan mendirikan diri kita sendiri di atasnya, sebagai ganti Abimelekh.'" (Disesuaikan dari Kitab Hakim)
Kisah yang tercatat dalam Kitab Hakim, khususnya pada pasal 9 ayat 15, menyajikan sebuah momen penting yang menggugah refleksi mendalam tentang sifat kepemimpinan, kekuasaan, dan implikasi dari keputusan yang diambil. Ayat ini, dalam konteks narasi yang lebih luas, menggambarkan keinginan sekelompok orang untuk menolak otoritas yang ada dan mendambakan sebuah tatanan baru, yang mereka yakini akan lebih menguntungkan mereka. Namun, di balik kata-kata tersebut, tersembunyi pelajaran berharga mengenai keadilan dan kebijaksanaan yang seharusnya menuntun setiap tindakan, terutama bagi mereka yang memegang tampuk kekuasaan.
Dalam konteks Kitab Hakim, peristiwa ini terjadi pada masa ketika Israel berada dalam periode transisi, sering kali dipimpin oleh individu-individu yang memiliki karisma dan kekuatan, tetapi tidak selalu kebijaksanaan ilahi. Kisah Abimelekh, putra Gideon, yang berusaha menjadi raja melalui cara-cara yang kejam, menjadi latar belakang utama bagi kutipan ini. Pilihan kata "marilah kita pergi dan berperang melawan Sikhem" menunjukkan adanya niat agresif dan keinginan untuk menaklukkan, bukan memulihkan atau membangun dengan adil.
Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan kritis: atas dasar apa mereka merasa berhak berperang dan "mendirikan diri sendiri"? Apakah keputusan ini didasarkan pada prinsip kebenaran, keadilan, atau sekadar ambisi pribadi dan hasrat untuk meraih kekuasaan? Sejarah telah berulang kali membuktikan bahwa tindakan yang didorong oleh keserakahan dan keinginan untuk mendominasi sering kali berujung pada kehancuran, baik bagi yang menyerang maupun yang diserang.
Keadilan, dalam arti yang sesungguhnya, bukan hanya tentang penegakan hukum, tetapi juga tentang perlakuan yang setara dan bermartabat bagi semua orang. Kepemimpinan yang ideal harus berlandaskan pada prinsip-prinsip keadilan, memastikan bahwa hak-hak setiap individu terlindungi dan bahwa keputusan yang diambil adalah untuk kebaikan bersama, bukan untuk keuntungan segelintir orang. Sikap represif dan keinginan untuk menindas, seperti yang tersirat dalam ayat tersebut, adalah antitesis dari keadilan.
Ketika suatu kelompok atau pemimpin memutuskan untuk "berperang" melawan entitas lain, penting untuk meninjau motivasi di baliknya. Apakah ada ketidakadilan yang perlu diperbaiki secara damai? Apakah ada dialog yang telah diupayakan? Atau murni karena dorongan untuk memperluas pengaruh dan mengendalikan wilayah lain? Ketidakberpihakan, objektivitas, dan pertimbangan mendalam adalah komponen krusial dalam setiap pengambilan keputusan yang melibatkan konflik atau perebutan kekuasaan.
Selain keadilan, kebijaksanaan memegang peran sentral. Kebijaksanaan bukan sekadar pengetahuan, melainkan kemampuan untuk menerapkan pengetahuan tersebut dalam situasi yang kompleks, dengan pandangan jangka panjang dan pemahaman akan konsekuensi. "Marilah kita pergi dan berperang" adalah respons yang impulsif, yang sering kali mengabaikan dampak jangka panjang dari kekerasan.
Seorang pemimpin yang bijaksana akan mencari solusi damai, mediasi, dan dialog sebelum menempuh jalur konflik. Mereka akan mempertimbangkan risiko, kerugian, dan kemungkinan terciptanya siklus kekerasan yang tak berkesudahan. Dalam kasus yang digambarkan dalam Hakim 9:15, tampaknya kebijaksanaan diabaikan demi ambisi yang membabi buta. Hasil dari tindakan semacam itu biasanya adalah penderitaan yang meluas, disintegrasi sosial, dan hilangnya rasa aman.
Oleh karena itu, pesan dari Hakim 9:15 tetap relevan hingga kini. Ia mengingatkan kita bahwa setiap tindakan, terutama yang berkaitan dengan kekuasaan dan konflik, harus ditinjau dari sudut pandang keadilan dan kebijaksanaan. Hanya dengan landasan inilah kita dapat membangun masyarakat yang stabil, adil, dan sejahtera, serta menghindari kesalahan yang sama yang telah berulang kali terjadi sepanjang sejarah peradaban manusia.