"Jika sekiranya kamu bertindak dengan tulus ikhlas dan jujur terhadap Yerubaal dan keturunannya pada hari ini, maka bersukacitalah Abimelekh, dan berbahagialah juga kamu."
Kutipan dari Kitab Hakim, pasal 9, ayat 16 ini menyoroti sebuah momen krusial dalam narasi kepemimpinan Israel kuno, khususnya terkait dengan tokoh Abimelekh. Ayat ini bukan hanya sekadar perkataan, melainkan sebuah cerminan dari idealisme yang diinginkan dalam pemerintahan yang adil dan jujur. Di tengah intrik dan perebutan kekuasaan yang kerap mewarnai era hakim-hakim, pesan ini menjadi pengingat akan pentingnya integritas moral bagi para pemimpin dan dampaknya terhadap kesejahteraan rakyat.
Kitab Hakim menceritakan periode setelah Yosua memimpin bangsa Israel memasuki Tanah Perjanjian. Era ini ditandai dengan siklus kejatuhan dalam penyembahan berhala, penindasan oleh bangsa asing, dan kemudian seruan kepada Tuhan yang menghasilkan para hakim untuk menyelamatkan mereka. Abimelekh, anak dari Gideon (Yerubaal) dengan seorang gundik, adalah sosok yang kontroversial. Ia ambisius dan menggunakan cara-cara licik untuk merebut kekuasaan sebagai raja di Sikhem, bahkan membunuh saudara-saudaranya sendiri demi memuluskan jalannya.
Ayat 9:16 ini diucapkan oleh Jotam, saudara Abimelekh yang selamat dari pembunuhan sadis tersebut, dalam bentuk perumpamaan yang terkenal tentang pohon-pohon yang memilih raja. Jotam mengutuk Abimelekh dan penduduk Sikhem atas tindakan keji mereka. Pesan yang disampaikan Jotam memiliki dua sisi: jika Abimelekh dan orang Sikhem bertindak dengan tulus ikhlas dan jujur terhadap Gideon (Yerubaal) dan keturunannya, maka seharusnya ada sukacita dan kebahagiaan. Namun, realitasnya adalah sebaliknya. Abimelekh telah menumpahkan darah saudaranya sendiri, menunjukkan ketidakjujuran dan kekejaman yang mendalam.
Keadilan dan kejujuran adalah pilar fundamental dari setiap pemerintahan yang sah dan diberkati. Ketika para pemimpin bertindak dengan integritas, mengutamakan kebaikan bersama di atas kepentingan pribadi, maka masyarakat akan merasakan stabilitas dan kemakmuran. Sebaliknya, seperti yang ditunjukkan oleh kisah Abimelekh, kebohongan, kekejaman, dan perebutan kekuasaan yang tidak adil hanya akan membawa kehancuran dan malapetaka. Kisah Abimelekh sendiri berakhir tragis, di mana ia akhirnya tewas secara mengerikan akibat kutukan Tuhan yang ia terima karena kejahatannya.
Pesan dalam Hakim 9:16 ini relevan hingga kini. Ia mengingatkan kita bahwa kepemimpinan yang sejati tidak dibangun di atas tipu daya atau kekerasan, melainkan pada fondasi moralitas yang kuat. Setiap individu, terutama mereka yang memegang posisi kekuasaan, dipanggil untuk merefleksikan nilai-nilai hakim 9 16 - keadilan, ketulusan, dan kejujuran - sebagai pedoman dalam tindakan mereka. Keadilan ilahi pada akhirnya akan terungkap, dan mereka yang berbuat curang akan menuai hasilnya. Dengan demikian, ayat ini mengajak kita untuk selalu mengupayakan kebenaran dalam setiap aspek kehidupan, terutama dalam relasi kepemimpinan dan masyarakat.