Yesaya 65:11 - Janji Ilahi yang Mengejutkan

"Tetapi kamu ini, yang meninggalkan TUHAN, yang melupakan gunung kudus-Ku, yang menyediakan hidangan bagi Dewa Keberuntungan dan yang mendewakan Minuman Mujur,"
Simbol sederhana berupa dua lingkaran dengan garis di antaranya, melambangkan koneksi atau harmoni.

Ayat yang tercatat dalam Kitab Yesaya 65:11 seringkali kali dibaca sekilas dan mungkin tidak sepenuhnya menangkap kedalaman pesan yang ingin disampaikan oleh nabi. Ayat ini secara gamblang menggambarkan kondisi umat Israel pada masa itu, di mana mereka telah berpaling dari Tuhan, sumber kehidupan sejati, dan justru memilih untuk menyembah berhala serta mengikuti tradisi yang menyesatkan. Kata "meninggalkan TUHAN" dan "melupakan gunung kudus-Ku" bukanlah sekadar ungkapan kiasan, melainkan refleksi dari sebuah keputusan sadar untuk menjauh dari sumber kebenaran dan kesucian.

Lebih lanjut, ayat ini menyebutkan tentang "menyediakan hidangan bagi Dewa Keberuntungan" dan "mendewakan Minuman Mujur". Frasa ini merujuk pada praktik penyembahan berhala yang lazim pada zaman itu, di mana bangsa-bangsa lain (dan sebagian umat Israel) mempersembahkan sesajen kepada dewa-dewa yang mereka yakini akan membawa keberuntungan materi atau nasib baik. Ini menunjukkan sebuah pergeseran fokus yang drastis: dari mengandalkan Allah Tritunggal yang Maha Kuasa dan Maha Pengasih, mereka beralih kepada kekuatan-kekuatan buatan manusia yang pada dasarnya kosong dan tidak dapat memberikan keselamatan sejati.

Pesan di balik ayat ini sangat relevan bahkan hingga kini. Dalam kehidupan modern, godaan untuk "menyediakan hidangan bagi Dewa Keberuntungan" bisa mengambil berbagai bentuk. Ia bisa berupa obsesi terhadap kekayaan materi, pencarian kesuksesan semata demi status sosial, ketergantungan pada ramalan atau takhayul, atau bahkan mengagungkan "keberuntungan" atau "nasib baik" sebagai kekuatan yang menentukan, tanpa mengakui peran Tuhan di balik segalanya. Ketika kita terlalu fokus pada hal-hal duniawi sehingga melupakan hubungan kita dengan Tuhan, kita sebenarnya sedang mengalami "meninggalkan TUHAN" dalam skala personal.

Yesaya menyoroti betapa tragisnya keadaan tersebut. Ia tidak hanya menyatakan fakta, tetapi juga seolah menggugah kesadaran akan konsekuensi dari tindakan tersebut. Melupakan Tuhan berarti melupakan sumber segala berkat yang sejati, penopang hidup, dan pemberi harapan abadi. Memilih jalan yang menyesatkan hanya akan membawa kekecewaan dan kehancuran.

Namun, kisah dalam Kitab Yesaya tidak berhenti pada peringatan. Seringkali, setelah gambaran tentang kejatuhan, terdapat janji pemulihan dan harapan baru. Meskipun ayat 11 secara spesifik menggambarkan kesalahan umat, konteks yang lebih luas dalam Yesaya 65 justru membuka jendela menuju masa depan yang penuh kemuliaan. Tuhan, dalam kasih dan kesetiaan-Nya, selalu membuka jalan bagi pertobatan dan pengampunan. Pesan ini mengajarkan kita untuk senantiasa menjaga kekudusan hubungan dengan Tuhan, memusatkan hati dan pikiran pada-Nya, serta menolak segala bentuk penyembahan berhala modern yang dapat menjauhkan kita dari sumber kehidupan yang sesungguhnya. Mari kita renungkan kembali, apakah "hidangan" yang kita sediakan hari ini lebih ditujukan kepada Tuhan atau kepada "dewa-dewa" duniawi yang sesat?