"Dan Abimelekh tinggal di Aruma. Tetapi Zebul mengusir Abimelekh dan menyuruh dia pergi. Abimelekh lalu pergi ke Beer."
Kisah tentang Abimelekh dalam Kitab Hakim-hakim adalah salah satu babak paling kelam dan penuh intrik dalam sejarah Israel kuno. Ayat ini, Hakim-hakim 9:41, menandai kelanjutan dari pengkhianatan dan kekuasaan yang diraih dengan cara yang tidak sah. Setelah berhasil merebut kota Tebes, Abimelekh kembali ke Aruma, tempat asalnya, namun hubungannya dengan Zebul, walikota setempat, mulai memburuk.
Konteks dari ayat ini adalah buah dari ambisi Abimelekh yang luar biasa. Setelah ayahnya, Gideon, menolak tawaran untuk menjadi raja, Abimelekh, anak dari gundik Gideon, melihat kesempatan emas. Ia membunuh saudara-saudaranya sendiri, kecuali Yoam yang berhasil melarikan diri, demi mengukuhkan kekuasaannya sebagai raja atas Sikhem. Tindakan ini jelas melanggar norma moral dan hukum ilahi, mencerminkan kekacauan dan hilangnya arah moral di antara bangsa Israel pada masa itu, sebagaimana tergambar dalam tema umum kitab Hakim-hakim: "Setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri."
Ayat Hakim-hakim 9:41 secara spesifik menggambarkan bahwa Abimelekh tidak bisa lama menikmati "kedamaian" di Aruma. Zebul, yang awalnya mendukung atau setidaknya mentolerir kekuasaan Abimelekh, kini justru berbalik. Hubungan mereka retak, kemungkinan karena kesadaran Zebul akan kejahatan Abimelekh atau mungkin karena dinamika kekuasaan yang terus berubah di Sikhem dan sekitarnya. Zebul memutuskan untuk mengusir Abimelekh, sebuah tindakan yang menunjukkan ketidakstabilan rezim Abimelekh dan hilangnya dukungan, bahkan dari sekutu lokalnya.
Akibat pengusiran ini, Abimelekh terpaksa mengungsi ke Beer. Perjalanan ke Beer ini bukanlah akhir dari kisahnya, melainkan awal dari episode berikutnya yang juga penuh dengan kekerasan. Pengalaman ini menggarisbawahi sifat kejam dan penuh dendam Abimelekh, serta ketidakpastian politik yang melingkupinya. Ia kehilangan pijakan di Aruma, sebuah pukulan telak bagi egonya dan klaim kekuasaannya.
Kisah Abimelekh, yang terangkum dalam pasal-pasal awal Kitab Hakim-hakim, memberikan pelajaran penting tentang konsekuensi dari ambisi pribadi yang tidak terkendali dan kejahatan yang dilakukan demi kekuasaan. Peristiwa yang digambarkan dalam Hakim-hakim 9:41 adalah cerminan dari hubungan yang rapuh dan penuh pengkhianatan dalam dunia politik yang gelap. Pengusiran dari Aruma dan perpindahannya ke Beer menjadi penanda sebuah fase baru dalam perjuangan Abimelekh untuk mempertahankan apa yang telah ia rampas, sebuah perjuangan yang pada akhirnya akan membawanya pada akhir yang tragis.
Ayat ini, meskipun singkat, sarat makna. Ia menggambarkan pergeseran kekuasaan, fragmentasi aliansi, dan ketidakmampuan seorang penguasa tirani untuk menemukan tempat peristirahatan yang aman. Abimelekh, raja yang "dibuat" melalui kekerasan, terus-menerus terperangkap dalam pusaran konflik dan pengkhianatan, menunjukkan bahwa kekuasaan yang dibangun di atas fondasi yang salah tidak akan pernah bertahan lama dan selalu mendatangkan penderitaan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.