"Pada tahun keempat segala buahnya harus menjadi korban pujian bagi TUHAN."
Ayat dari Kitab Imamat ini membuka pandangan mendalam tentang hubungan antara umat manusia dengan Tuhan, khususnya dalam konteks pemberian persembahan dan pengakuan atas berkat yang diterima. Imamat 19:24 menyatakan, "Pada tahun keempat segala buahnya harus menjadi korban pujian bagi TUHAN." Perintah ini bukan sekadar ritual keagamaan, melainkan sebuah pengingat konstan tentang sumber segala kebaikan dan kebutuhan untuk selalu mengembalikan pujian serta rasa syukur kepada Pencipta.
Dalam konteks pertanian, yang merupakan tulang punggung kehidupan di zaman kuno, perintah ini memiliki makna praktis dan spiritual yang signifikan. Tanah yang subur, hujan yang tepat waktu, dan hasil panen yang melimpah adalah karunia ilahi. Menantikan hingga tahun keempat untuk mempersembahkan buah pertama secara khusus adalah bentuk kesabaran, kepercayaan, dan pengakuan bahwa pertumbuhan tanaman dari awal hingga siap panen sepenuhnya bergantung pada campur tangan Tuhan. Buah-buahan pada tahun pertama, kedua, dan ketiga masih dianggap belum layak untuk dipersembahkan sebagai korban pujian, menunjukkan proses pertumbuhan dan pematangan yang harus dilalui.
Mengapa tahun keempat? Ada beberapa penafsiran mengenai ini. Salah satunya adalah agar umat Israel memiliki waktu yang cukup untuk menanam pohon-pohon buah-buahan mereka, memberikan waktu bagi pohon untuk tumbuh kuat dan menghasilkan buah yang berkualitas. Ini mengajarkan tentang pentingnya investasi jangka panjang dan pengelolaan yang bijaksana. Di tahun keempat, hasil panen tersebut menjadi yang pertama kali "matang" dalam arti kesempurnaan dan kelayakan untuk dipersembahkan. Ini adalah persembahan pertama yang benar-benar mewakili kematangan dan hasil dari usaha yang diberkati.
Persembahan korban pujian ini bukan hanya sekadar menyerahkan hasil panen, tetapi lebih kepada ekspresi hati yang penuh dengan rasa terima kasih dan pengakuan atas kedaulatan Tuhan. Ini adalah tindakan ketaatan yang mendemonstrasikan bahwa segala sesuatu berasal dari Tuhan dan kembali kepada-Nya. Tindakan ini juga berfungsi sebagai pengingat bagi seluruh komunitas. Dengan melihat buah-buahan pertama dipersembahkan, mereka semua diingatkan akan kebaikan Tuhan dan tanggung jawab mereka untuk hidup dalam kesucian dan ketaatan.
Dalam dunia modern, makna Imamat 19:24 tetap relevan. Prinsipnya mengajarkan kita untuk tidak hanya fokus pada hasil dan keuntungan semata, tetapi juga untuk mengakui dan menghargai sumber berkat kita. Entah itu dalam pekerjaan, keluarga, atau pencapaian pribadi, selalu ada elemen yang berada di luar kendali kita. Mengakui ini melalui doa, ucapan syukur, dan tindakan memberi adalah cara kita menghormati sumber segala keberhasilan. Memberikan "buah pertama" dari apa yang kita miliki, baik itu waktu, talenta, atau sumber daya finansial, kepada Tuhan dan kepada sesama adalah cara kita mengekspresikan iman dan kepercayaan kita.
Lebih jauh lagi, ayat ini mendorong kita untuk memiliki pandangan jangka panjang dalam hidup dan dalam hubungan kita dengan Tuhan. Tidak terburu-buru menikmati hasil, melainkan mendahulukan pengakuan dan persembahan, mengajarkan kesabaran dan disiplin rohani. Ini adalah tentang prioritas yang benar, di mana Tuhan ditempatkan di atas segala hal. Ketika kita mempersembahkan buah pertama, kita sedang menanam benih kepercayaan dan kesetiaan, yang pada akhirnya akan membawa berkat yang lebih berlimpah, bukan hanya dalam bentuk materi, tetapi juga dalam kedamaian hati dan kedekatan dengan Sang Pemberi Kehidupan.