Ayat dari Kitab Imamat 22:26 memberikan landasan penting mengenai sifat persembahan yang diperkenan oleh Tuhan. Dalam konteks Perjanjian Lama, persembahan merupakan bagian integral dari ibadah dan cara umat Israel untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Namun, ayat ini secara spesifik menekankan bahwa tujuan utama dari persembahan bukanlah untuk keuntungan pribadi atau sekadar memenuhi kewajiban semata, melainkan untuk kemuliaan Tuhan dan sebagai ekspresi ketaatan serta pengakuan atas kedaulatan-Nya.
Perintah ini menggarisbawahi sebuah prinsip fundamental: persembahan yang tulus lahir dari hati yang mengasihi dan menghormati Tuhan, bukan dari motif egois. Ketika Tuhan menetapkan aturan mengenai korban, Dia tidak hanya memperhatikan aspek lahiriahnya, seperti jenis hewan atau cara penyajiannya, tetapi juga keadaan hati para pelaku. Mempersembahkan sesuatu untuk "mendapat perkenanan bagi diri sendiri" menyiratkan adanya keinginan untuk menutupi kekurangan, membeli keselamatan, atau sekadar mencari keuntungan duniawi melalui tindakan religius. Ini adalah pandangan yang keliru tentang hubungan antara manusia dan Tuhan.
Tujuan persembahan seharusnya adalah untuk memuliakan nama Tuhan, mengakui kebesaran-Nya, dan menyatakan penyerahan diri. Dalam arti yang lebih luas, ayat ini dapat ditafsirkan sebagai pengingat bahwa segala tindakan kebaikan dan pelayanan yang kita lakukan, baik dalam ibadah maupun kehidupan sehari-hari, seharusnya dilandasi oleh cinta kepada Tuhan dan sesama, bukan sekadar untuk pujian manusia atau imbalan duniawi. Tuhan melihat hati, dan Dia menghargai ketulusan di atas segala sesuatu.
Simbol hati yang terbuka, melambangkan ketulusan persembahan.
Dalam terang Perjanjian Baru, konsep ini diperdalam melalui pengorbanan Yesus Kristus. Pengorbanan-Nya adalah pengorbanan yang sempurna, yang dilakukan karena kasih Bapa dan untuk keselamatan umat manusia. Kita tidak perlu lagi mempersembahkan hewan untuk menebus dosa, melainkan kita dipanggil untuk mempersembahkan hidup kita sebagai "persembahan yang hidup, yang kudus dan berkenan kepada Allah" (Roma 12:1). Ini berarti menyerahkan seluruh keberadaan kita – pikiran, perkataan, perbuatan – kepada Tuhan, dengan motif yang murni dan cinta yang tulus.
Oleh karena itu, Imamat 22:26 bukan sekadar aturan kuno, melainkan prinsip abadi yang mengajak kita untuk merefleksikan motif di balik setiap tindakan ibadah dan pelayanan kita. Marilah kita senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhan dengan hati yang tulus, bukan dengan harapan akan keuntungan pribadi, melainkan untuk memuliakan nama-Nya yang kudus.