Simbol persembahan berupa mangkuk dan api.

Imamat 3:6 - Persembahan Damai Sejahtera

"Keturunan Harun harus membakar semuanya di atas mezbah, sebagai korban api-apian yang berbau harum bagi TUHAN. Itu adalah korban sajian."

Kitab Imamat merupakan salah satu kitab dalam Perjanjian Lama yang sangat penting dalam memahami ibadah dan hukum-hukum Musa yang diberikan kepada bangsa Israel. Di dalam kitab ini, kita menemukan berbagai jenis persembahan yang harus dipersembahkan kepada Tuhan, masing-masing dengan makna dan tujuannya tersendiri. Salah satu jenis persembahan yang dibahas secara rinci adalah persembahan damai sejahtera, seperti yang tertulis dalam Imamat 3:6.

Memahami Persembahan Damai Sejahtera

Persembahan damai sejahtera memiliki makna yang mendalam. Berbeda dengan persembahan korban bakaran yang seluruhnya dibakar di mezbah sebagai tanda penyerahan total kepada Tuhan, atau persembahan kesalahan dan dosa yang fokus pada penebusan, persembahan damai sejahtera lebih menekankan pada persekutuan dan keharmonisan antara umat Tuhan dengan Tuhan, serta antar sesama umat. Persembahan ini merupakan ekspresi syukur, permohonan berkat, atau pemenuhan nazar.

Ayat Imamat 3:6 secara spesifik menjelaskan tentang bagaimana bagian-bagian tertentu dari hewan yang dipersembahkan sebagai korban damai sejahtera harus diperlakukan. Frasa "korban api-apian yang berbau harum bagi TUHAN" menunjukkan bahwa seluruh persembahan ini diperuntukkan bagi Tuhan. Pembakaran di atas mezbah melambangkan pemurnian dan penerimaan persembahan oleh Tuhan. Aroma yang naik dari pembakaran dianggap sebagai persembahan yang menyenangkan hati Tuhan, suatu tanda penerimaan ilahi atas umat-Nya.

Peran Keturunan Harun

Tanggung jawab untuk melaksanakan persembahan ini diberikan kepada para imam, yaitu keturunan Harun. Hal ini menekankan pentingnya struktur dan otoritas dalam ibadah yang ditetapkan oleh Tuhan. Para imam bertindak sebagai perantara antara Tuhan dan umat-Nya, memastikan bahwa setiap aspek ibadah dilakukan sesuai dengan perintah Tuhan. Tangan mereka yang terampil dalam menjalankan ritual adalah bagian integral dari proses persembahan yang sah di hadapan Tuhan.

Dalam konteks persembahan damai sejahtera, setelah bagian-bagian tertentu dari hewan (seperti lemak dan ginjal yang merupakan bagian terbaik) dibakar di mezbah, bagian daging yang tersisa dapat dinikmati oleh imam dan umat yang mempersembahkan. Hal ini mencerminkan persekutuan yang terjalin. Umat Tuhan berbagi perjamuan dengan Tuhan, yang diwakili oleh para imam yang memakan bagian korban di tempat kudus. Ini adalah gambaran yang indah tentang hubungan yang intim dan penuh sukacita antara pencipta dan ciptaan-Nya.

Relevansi di Masa Kini

Meskipun hukum-hukum mengenai persembahan hewan tidak lagi dipraktikkan secara literal setelah kedatangan Yesus Kristus, prinsip-prinsip di baliknya tetap relevan. Yesus Kristus adalah penggenapan dari segala korban. Melalui kematian-Nya di kayu salib, Ia menjadi korban pendamaian yang sempurna bagi dosa-dosa kita. Persembahan damai sejahtera yang dahulu dilambangkan dengan perjamuan bersama Tuhan, kini dalam Perjanjian Baru diartikan sebagai persekutuan kita dengan Tuhan melalui iman kepada Kristus.

Kita diajak untuk terus mempersembahkan "korban syukur" dengan hati yang tulus, hidup yang berkenan kepada Tuhan, dan senantiasa menjaga persekutuan yang harmonis dengan sesama. Ibadah yang berpusat pada Kristus mengajarkan bahwa persembahan terbaik kita adalah diri kita sendiri, yang dipersembahkan sebagai "hamba yang hidup, kudus dan berkenan kepada Allah" (Roma 12:1). Imamat 3:6, dengan demikian, mengingatkan kita akan pentingnya mempersembahkan yang terbaik kepada Tuhan, menikmati persekutuan yang telah Ia sediakan, dan hidup dalam damai sejahtera yang berasal dari Dia.