Imamat 7:18 - Persembahan Syukur dan Kehidupan Baru

"Apabila ia mempersembahkan korban keselamatan kepada TUHAN karena nazar atau karena persembahan sukarela, maka daging korban itu haruslah dimakan pada hari dipersembahkannya korban itu; sedikitpun jangan ditinggalkannya sampai besok pagi."

Ayat dari Kitab Imamat 7:18 ini mungkin sekilas terdengar seperti sebuah instruksi ritual yang kuno dan spesifik dalam konteks ibadah Israel kuno. Namun, jika kita menyelaminya lebih dalam, kita akan menemukan makna yang jauh lebih luas dan relevan, terutama mengenai pentingnya ucapan syukur, tindakan yang tepat waktu, dan anugerah kehidupan yang berkelimpahan.

Dalam konteks Imamat, korban keselamatan adalah salah satu jenis persembahan yang dipersembahkan kepada TUHAN. Persembahan ini bisa bersifat sukarela, sebagai ungkapan rasa terima kasih dan sukacita atas berkat yang diterima, atau karena menepati nazar atau janji yang telah diucapkan kepada Tuhan. Ayat ini secara spesifik menekankan bahwa daging dari korban keselamatan tersebut harus segera dimakan pada hari persembahan itu dilakukan, dan tidak boleh disisakan hingga pagi berikutnya. Ada beberapa lapisan makna yang bisa kita gali dari instruksi ini.

Pertama, pentingnya ucapan syukur yang segera dan tuntas. Kehidupan sering kali diberkati dengan cara yang tak terduga. Ketika berkat itu datang, respons yang paling murni adalah rasa syukur. Instruksi untuk segera memakan korban menunjukkan bahwa ucapan syukur seharusnya tidak ditunda-tunda. Kita perlu menghargai dan merayakan berkat saat ia masih segar, bukannya membiarkannya menjadi sesuatu yang terlupakan atau berlalu begitu saja. Menunda ucapan syukur bisa berarti kehilangan kesempatan untuk benar-benar merasakan sukacita dan kepenuhan anugerah yang telah diberikan.

Kedua, implikasi dari ketepatan waktu dan penghormatan terhadap pemberian Tuhan. Terdapat kesegaran dan keutuhan dalam persembahan yang dikonsumsi segera. Sisa yang ditinggalkan hingga pagi dapat melambangkan sesuatu yang sudah mulai basi, kehilangan kemurniannya, atau bahkan menjadi rusak. Ini mengajarkan kita untuk memperlakukan karunia Tuhan dengan hormat, memanfaatkannya dengan baik, dan tidak menyia-nyiakannya. Dalam kehidupan modern, ini bisa diartikan sebagai menggunakan waktu, talenta, atau sumber daya yang diberikan Tuhan untuk kebaikan, bukan untuk dibiarkan terbengkalai.

Ketiga, simbolisme perjamuan dan persekutuan. Memakan korban bersama-sama, baik oleh imam maupun umat, merupakan tindakan persekutuan dan partisipasi dalam berkat yang Tuhan berikan. Instruksi untuk tidak menyisakan daging hingga pagi juga bisa mengisyaratkan bahwa sukacita dan berkat ilahi dimaksudkan untuk dinikmati dalam momen kebersamaan, berbagi kegembiraan, dan menguatkan hubungan satu sama lain di hadapan Tuhan. Kegagalan untuk segera berbagi atau menikmati berkat ini bisa berarti melewatkan kesempatan untuk mempererat persekutuan.

Simbol Gelas dan Piring dengan Sinar

Dalam arti yang lebih rohani, ayat ini dapat dihubungkan dengan konsep kehidupan baru dan pemeliharaan Tuhan. Persembahan korban keselamatan sering kali melambangkan pendamaian dan persetujuan. Ketika kita mendekat kepada Tuhan, kita diundang untuk menerima anugerah-Nya dengan hati yang bersyukur. Perintah untuk memakan korban segera mengajarkan kita untuk hidup dalam pemenuhan berkat Tuhan setiap hari, menikmati anugerah-Nya yang diperbarui pagi demi pagi. Kehidupan yang diberkati oleh Tuhan tidak boleh dibiarkan begitu saja berlalu tanpa disyukuri dan dinikmati dalam persekutuan dengan-Nya.

Imamat 7:18 bukan hanya tentang aturan ibadah. Ia berbicara tentang sikap hati yang benar terhadap Tuhan dan anugerah-Nya. Ia mendorong kita untuk memiliki respons yang hidup dan aktif terhadap kebaikan Tuhan, merayakan setiap berkat, dan menikmati persekutuan yang Dia tawarkan. Ini adalah pengingat yang indah bahwa kehidupan yang penuh syukur adalah kehidupan yang dinamis, penuh dengan sukacita, dan selalu terhubung dengan Sumber segala berkat.