"Kemudian ia mengandung pula dan melahirkan seorang anak laki-laki. Berkatalah ia: "Sekarangtentu suami saya akan lebih mengasihi saya." Maka ia menamai anak itu Lewi."
Ayat ini berasal dari Kitab Kejadian, pasal 29, ayat 33. Ayat ini merupakan bagian dari kisah Yakub dan kedua istrinya, Lea dan Rahel. Dalam tradisi patriarkal pada masa itu, memiliki banyak anak laki-laki adalah simbol kekuatan, warisan, dan penerus nama keluarga. Bagi Lea, yang awalnya tidak dicintai oleh Yakub, setiap kelahiran anak laki-laki membawa harapan baru. Ia berharap bahwa anak-anaknya akan menjadi alasan bagi Yakub untuk mencintainya, menggantikan cinta yang lebih besar yang diberikan Yakub kepada adiknya, Rahel.
Kisah Lea mencerminkan perjuangan emosional yang mendalam. Ia dinikahkan kepada Yakub secara tidak sengaja oleh ayahnya, Laban, yang menipu Yakub dengan mengganti adiknya, Rahel, pada malam pernikahan. Sejak awal, cinta Yakub tertuju pada Rahel, dan Lea harus hidup dalam bayang-bayang kekecewaan. Kelahiran Lewi, anak ketiganya, adalah momen ketika Lea mengungkapkan harapannya yang tulus: "Sekarang tentu suami saya akan lebih mengasihi saya." Penamaan Lewi sendiri, yang secara etimologis dapat diartikan sebagai "bergabung" atau "terikat", mencerminkan keinginannya untuk lebih terikat dengan Yakub melalui kehadiran anak-anak mereka.
Meskipun Lea berharap mendapatkan kasih sayang Yakub, ayat ini juga menunjukkan bahwa fokus Lea adalah pada respon Yakub. Ini adalah pola yang berulang dalam hidupnya di awal pernikahan. Namun, kisah Lea tidak berhenti di sini. Seiring waktu, meskipun tidak mendapatkan cinta romantis yang ia dambakan, Lea menemukan kekuatan dan martabat melalui anak-anaknya dan melalui campur tangan ilahi. Keturunan Lewi kelak menjadi suku Lewi yang memiliki peran penting dalam pelayanan keagamaan bangsa Israel, sebuah kehormatan yang luar biasa.
Ayat ini mengajarkan kita tentang kompleksitas hubungan manusia, tentang harapan, dan tentang cara Tuhan bekerja bahkan dalam situasi yang penuh dengan kesedihan dan kekecewaan. Lea belajar bahwa nilai dirinya tidak semata-mata bergantung pada kasih sayang seorang suami, tetapi juga pada peran yang ia mainkan dalam rencana ilahi dan kekuatan yang ia temukan dalam dirinya sendiri dan melalui keluarganya. Kisah ini mengingatkan kita untuk tidak tergesa-gesa menghakimi, dan bahwa Tuhan memiliki cara-Nya sendiri untuk membalut luka dan memberikan makna pada setiap kehidupan. Dalam setiap kondisi, ada potensi untuk pertumbuhan, kebaikan, dan berkat yang tak terduga.