Kisah dalam Kejadian 30:7 membawa kita ke dalam inti pergumulan Rahel yang mendalam tentang kesuburan dan peran seorang ibu dalam tradisi kuno. Ayat ini muncul dalam konteks yang lebih luas dari persaingan antara kedua istri Yakub, Lea dan Rahel, untuk mendapatkan perhatian dan keturunan dari suami mereka. Rahel, yang sangat dicintai Yakub, mendapati dirinya mandul, sebuah kondisi yang membawa kesedihan dan keputusasaan luar biasa di zamannya. Dalam budaya yang sangat menghargai keturunan sebagai berkat ilahi dan penerus garis keturunan keluarga, kemandulan dianggap sebagai aib dan sumber penderitaan yang tak tertahankan.
Kesedihan Rahel tidak hanya bersifat pribadi, tetapi juga sosial dan spiritual. Keinginan untuk memiliki anak, terutama anak laki-laki, adalah dorongan yang kuat untuk memastikan warisan, kehormatan keluarga, dan bahkan tempat dalam rencana ilahi. Dalam situasi di mana Lea, saingannya, terus-menerus diberkati dengan anak-anak, kesenjangan ini menjadi semakin menyakitkan bagi Rahel. Kemarahan yang menyala-nyala yang disebutkan dalam ayat ini adalah ekspresi dari rasa frustrasi yang menumpuk, ketakutan akan dilupakan, dan keputusasaan yang mencapai titik kritis. Ancaman "aku mau mati" menunjukkan betapa dalamnya rasa sakit dan keputusasaan yang dirasakannya; bagi Rahel, tanpa anak, hidup terasa hampa dan tidak berarti.
Menariknya, respon terhadap keputusasaan Rahel bukanlah langsung dari Yakub sendiri, melainkan melalui tindakan Bilha, hamba perempuannya. Kejadian 30:4 menjelaskan bahwa Rahel memberikan Bilha kepada Yakub untuk menjadi ibu pengganti baginya. Tindakan ini mencerminkan praktik sosial yang umum pada masa itu, di mana seorang istri yang mandul bisa memberikan hambanya untuk melayani suaminya agar keturunan yang lahir dianggap sebagai anak dari istri tersebut. Ini adalah cara untuk mengatasi kendala biologis demi memenuhi kewajiban sosial dan spiritual memiliki anak.
Melalui Bilha, Rahel akhirnya memiliki anak laki-laki, Dan dan Naftali. Ini adalah titik balik penting yang tidak hanya memberikan Rahel kelegaan emosional, tetapi juga menunjukkan bagaimana rencana Tuhan dapat bekerja melalui cara-cara yang tidak terduga, bahkan melalui kesepakatan dan tindakan manusia yang dipicu oleh kesedihan dan keinginan. Perjuangan Rahel, yang diungkapkan dengan begitu tajam dalam Kejadian 30:7, menjadi pengingat akan kompleksitas hubungan manusia, tekanan sosial, dan kerinduan mendalam akan kehidupan. Kisah ini juga menyoroti peran penting para hamba perempuan seperti Bilha, yang dalam keadaan mereka yang lebih rendah, menjadi agen penting dalam penerusan garis keturunan dan rencana yang lebih besar.
Inti dari ayat ini bukan hanya tentang Rahel dan kemandulannya, tetapi juga tentang harapan, kegigihan, dan bagaimana kesetiaan Tuhan dapat dinyatakan bahkan di tengah penderitaan manusia. Perjuangan untuk memiliki anak, terutama dalam konteks sejarah Israel, adalah metafora untuk kerinduan umat manusia akan pemenuhan, keturunan rohani, dan penyertaan ilahi. Kisah Bilha, meskipun seringkali terselubung dalam bayang-bayang Lea dan Rahel, mengajarkan kita tentang nilai setiap individu dan bagaimana mereka berkontribusi pada narasi yang lebih besar dari iman dan keluarga.