"Apabila seorang laki-laki membeli seorang perempuan budak, maka perempuan itu menjadi miliknya. Ia tidak boleh menjualnya kembali kepada bangsanya sendiri, karena hal itu akan merugikan; apabila ia mengambilnya menjadi istri kedua, maka ia tidak boleh mengurangi haknya sebagai istri dalam hal makanan, pakaian dan tunangannya."
Ayat Keluaran 21:8 adalah bagian dari hukum-hukum yang diberikan kepada bangsa Israel di Gunung Sinai. Ayat ini secara spesifik membahas mengenai hubungan antara seorang pemilik budak dan seorang budak perempuan yang dibelinya, terutama ketika pemilik tersebut memutuskan untuk mengambilnya sebagai istri kedua. Penting untuk dicatat bahwa konteks perbudakan pada zaman Perjanjian Lama berbeda dengan praktik perbudakan modern yang kejam. Hukum-hukum Taurat sering kali bertujuan untuk membatasi dan mengatur praktik yang sudah ada, bukan untuk menghilangkannya secara instan, serta untuk memberikan perlindungan bagi kelompok yang rentan.
Salah satu poin krusial dari ayat ini adalah larangan bagi pemilik untuk menjual budak perempuan tersebut kepada bangsa asing. Hal ini menunjukkan adanya perlindungan terhadap martabat dan identitas seseorang, meskipun dalam status budak. Larangan ini menegaskan bahwa budak perempuan itu, setelah dibeli, memiliki posisi yang lebih terikat dan tidak dapat diperlakukan semata-mata sebagai komoditas yang diperjualbelikan tanpa pertimbangan. Bagian ini secara implisit mengakui adanya hubungan kekerabatan atau setidaknya kebersamaan yang mulai terbentuk, sehingga tidak pantas untuk "dibuang" begitu saja kepada orang lain yang tidak dikenal.
Lebih lanjut, Keluaran 21:8 menetapkan hak-hak spesifik bagi budak perempuan yang menjadi istri kedua. Pemilik tidak diizinkan untuk mengurangi haknya dalam hal makanan, pakaian, dan kewajiban perkawinan (tunangan dalam konteks ini merujuk pada hak-hak yang melekat pada pernikahan yang sah). Ini berarti, meskipun ia bukan istri pertama atau tidak memiliki status sosial yang sama dengan perempuan yang dinikahi secara sukarela, ia tetap berhak mendapatkan kebutuhan dasar dan diperlakukan dengan standar yang layak dalam rumah tangga. Hukum ini berupaya mencegah eksploitasi lebih lanjut dan memastikan bahwa budak perempuan tersebut mendapatkan perlakuan yang manusiawi dan memenuhi standar pernikahan.
Dalam konteks yang lebih luas, Keluaran 21:8 mencerminkan upaya legislasi kuno untuk menciptakan tatanan sosial yang adil sebisa mungkin dalam lingkungan yang kompleks. Ayat ini menunjukkan bahwa keadilan dan perlindungan, bahkan bagi mereka yang berada dalam posisi terendah, adalah prinsip yang penting dalam hukum yang diberikan Allah. Ini bukan berarti membenarkan perbudakan, melainkan memahami bagaimana hukum tersebut berusaha membatasi ketidakadilan dan memberikan kerangka kerja yang lebih manusiawi. Refleksi terhadap ayat ini mengajak kita untuk melihat bagaimana prinsip keadilan dapat diterapkan dalam berbagai situasi, bahkan yang paling sulit sekalipun, dan bagaimana memperhatikan hak-hak mereka yang paling rentan.