"Jika engkau membeli seorang budak Ibrani, enam tahun lamanya ia harus bekerja, tetapi pada tahun yang ketujuh ia boleh pergi dengan tidak membayar tebusan."
Firman Tuhan yang tercatat dalam Kitab Keluaran, pasal 22, ayat 2, memberikan sebuah pandangan mendalam mengenai keadilan, kebebasan, dan tanggung jawab yang harus diemban oleh masyarakat. Ayat ini secara spesifik berbicara mengenai perbudakan dalam konteks zaman itu, namun prinsip-prinsip di baliknya memiliki relevansi yang jauh melampaui konteks historisnya. Inti dari perintah ini adalah pembatasan masa perbudakan dan pemberian jalan menuju kebebasan.
Dalam tatanan masyarakat kuno, perbudakan seringkali merupakan kondisi yang permanen dan tanpa harapan. Namun, hukum Taurat yang diberikan kepada bangsa Israel memperkenalkan sebuah elemen kemanusiaan yang revolusioner. Seorang budak Ibrani tidak diperbudak selamanya. Ada batas waktu enam tahun, dan pada tahun ketujuh, ia berhak untuk dibebaskan tanpa syarat. Ini adalah manifestasi nyata dari belas kasihan Tuhan dan keinginan-Nya agar tidak ada satu pun ciptaan-Nya yang tertindas secara permanen.
Prinsip keluaran 22 2 bukan hanya tentang membebaskan budak dari beban kerja. Lebih dari itu, ini adalah tentang mengembalikan martabat seseorang, memberikan kesempatan untuk memulai hidup baru, dan menegaskan bahwa setiap individu memiliki nilai yang intrinsik, terlepas dari status sosial atau ekonominya saat itu. Kebebasan yang diberikan bukan berdasarkan kebaikan hati tuannya semata, melainkan sebuah hak yang dijamin oleh hukum ilahi.
Perintah ini menunjukkan fokus Tuhan pada keadilan sosial dan perlindungan terhadap mereka yang lemah dan rentan. Membebaskan budak pada tahun ketujuh adalah sebuah tindakan pencegahan agar tidak terjadi eksploitasi yang berlebihan dan agar sistem perbudakan tidak menjadi kejam. Ini mengajarkan bahwa kekuasaan harus dibatasi oleh prinsip-prinsip moral dan etika.
Lebih jauh lagi, ayat ini mengajarkan sebuah pelajaran penting tentang tanggung jawab kolektif. Masyarakat Israel, sebagai penerima hukum ini, dituntut untuk menjaga integritas dan keadilan dalam setiap aspek kehidupan mereka. Perintah ini bukan sekadar aturan administrasi, tetapi sebuah fondasi moral yang membentuk karakter bangsa. Konsep keluaran 22 2 ini menjadi pengingat bahwa setiap orang berhak atas kebebasan dan kesempatan, dan masyarakat memiliki kewajiban untuk memastikan hal tersebut.
Relevansi ayat ini di masa kini mungkin tidak secara harfiah mengenai perbudakan seperti di zaman kuno. Namun, prinsip keadilan, pembebasan dari penindasan, dan pemberian kesempatan kedua tetap sangat relevan. Kita dapat mengaplikasikannya dalam berbagai bentuk perjuangan melawan ketidakadilan, penindasan ekonomi, diskriminasi, atau bentuk-bentuk perbudakan modern lainnya. Menegakkan keadilan, memberikan perlindungan bagi yang lemah, dan menciptakan sistem yang adil bagi semua adalah esensi sejati dari amanat yang terkandung dalam keluaran 22 2. Ini adalah panggilan untuk bertindak dengan belas kasihan dan keadilan, mencerminkan sifat Tuhan yang mengasihi dan memerdekakan.