Keluaran 32 34: Janji Tuhan dan Kejatuhan Manusia

"TUHAN berfirman kepada Musa: ‘Pergilah, turunlah, sebab bangsamu, yang kaupimpin keluar dari tanah Mesir, telah berbuat]$.’" (Keluaran 32:7)

Perjanjian yang Teruji Keluaran 32 & 34 Tuhan

Keluaran 32 dan Keluaran 34 merupakan dua pasal yang kaya akan drama dan makna teologis dalam kitab Keluaran. Kedua pasal ini secara dramatis menggambarkan hubungan antara Tuhan yang kudus dan umat pilihan-Nya yang rapuh, serta bagaimana Tuhan merespons ketidaktaatan dan pemulihan hubungan.

Pasal 32 mencatat salah satu momen paling menyedihkan dalam sejarah Israel: pembuatan anak lembu emas. Setelah Musa naik ke gunung Sinai untuk menerima hukum dari Tuhan, bangsa Israel menjadi gelisah. Mereka merasa ditinggalkan dan kemudian mendesak Harun untuk membuatkan mereka "allah" yang akan memimpin mereka. Anak lembu emas yang dibuat menjadi objek penyembahan, lengkap dengan persembahan korban. Tindakan ini adalah pelanggaran berat terhadap perintah pertama dan kedua yang baru saja diberikan Tuhan: "Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku" dan "Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun."

Keluaran 32:7-10 menggambarkan kemarahan Tuhan yang membara terhadap umat-Nya. Tuhan bahkan mengusulkan untuk memusnahkan mereka dan menjadikan Musa sebagai bangsa yang besar. Namun, Musa memohon, mengingatkan Tuhan akan janji-Nya kepada Abraham, Ishak, dan Yakub, serta reputasi-Nya di antara bangsa-bangsa Mesir. Dalam belas kasihan-Nya, Tuhan menunda hukuman-Nya, meskipun murka-Nya tetap menyala, yang memicu malapetaka bagi bangsa itu. Musa, yang turun dari gunung dan melihat kengerian itu, dengan marah menghancurkan loh batu yang ditulis Tuhan, sebuah simbol dari perjanjian yang telah dilanggar.

Peristiwa ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang sifat Tuhan dan dosa manusia. Apakah Tuhan yang maha kuasa bisa menjadi "marah" seperti manusia? Dalam konteks Alkitab, kemarahan Tuhan adalah respons yang adil terhadap dosa, ketidaktaatan, dan pemberontakan terhadap kekudusan-Nya. Namun, kemarahan-Nya tidak pernah melepaskan kasih dan belas kasihan-Nya yang mendalam. Permohonan Musa menunjukkan pentingnya campur tangan perantara dan pengingat akan karakter Allah yang setia pada janji-Nya.

Kemudian, kita beralih ke Keluaran 34, yang menampilkan pembaruan perjanjian dan pengungkapan lebih lanjut tentang karakter Tuhan. Setelah Musa menghancurkan loh batu yang asli, Tuhan memerintahkan Musa untuk mengukir loh batu yang baru. Dalam momen yang luar biasa ini, Tuhan sendiri menyatakan nama-Nya kepada Musa, yang sering disebut sebagai "Deklarasi Nama Tuhan" atau "Kasih Karunia Tuhan." Ayat-ayat kunci di sini adalah Keluaran 34:6-7: "TUHAN, TUHAN, Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar, melimpah kasih-Nya dan setia-Nya. Ia memelihara kasih setia sampai kepada beribu-ribu keturunan. Ia mengampuni kesalahan, pelanggaran dan dosa, tetapi Ia tidak sekali-kali membebaskan dari hukuman; tetapi menganugerahkan balasan kesalahan bapa kepada keturunannya sampai keturunan ketiga dan keempat."

Pengungkapan ini sangat penting. Meskipun Tuhan menghukum dosa, Ia juga adalah Tuhan yang penyayang, pengasih, panjang sabar, melimpah kasih-Nya, dan setia. Penekanan pada kasih setia (hesed) dan pengampunan menunjukkan kedalaman anugerah Tuhan. Namun, keadilan-Nya juga tetap ditegakkan, yaitu bahwa dosa membawa konsekuensi. Pengulangan hukuman sampai generasi keempat menekankan keseriusan dosa yang diwariskan dalam keluarga, tetapi juga memberikan harapan bahwa kasih setia-Nya menjangkau ribuan generasi.

Dalam Keluaran 34, Tuhan juga memerintahkan Musa untuk tidak bergaul dengan penduduk Kanaan dan untuk menghancurkan mezbah-mezbah mereka. Hal ini menekankan perlunya kemurnian dan pemisahan dari praktik-praktik penyembahan berhala yang menyesatkan. Cahaya yang terpancar dari wajah Musa setelah bertemu dengan Tuhan adalah tanda fisik dari kehadiran ilahi yang kudus, yang membuat orang Israel takut untuk mendekatinya sampai Musa menutupi wajahnya.

Secara keseluruhan, Keluaran 32 dan Keluaran 34 memberikan gambaran yang kontras namun saling melengkapi tentang Tuhan. Pasal 32 menunjukkan murka-Nya yang adil terhadap dosa dan pemberontakan. Sementara itu, pasal 34 mengungkapkan kasih karunia-Nya yang tak terbatas, kesetiaan-Nya pada janji, dan kemauan-Nya untuk memulihkan hubungan yang rusak melalui pengampunan, meskipun dosa tetap membawa konsekuensi. Kisah ini mengingatkan kita bahwa hubungan kita dengan Tuhan selalu melibatkan penyerahan diri yang tulus, pengakuan akan kelemahan kita, dan ketergantungan pada kasih karunia dan pengampunan-Nya yang selalu tersedia.