Kisah penciptaan manusia, Adam Al-Masih, merupakan salah satu narasi paling fundamental dalam ajaran agama samawi. Dalam Surah Al-Baqarah, Allah SWT memaparkan rangkaian peristiwa yang mengawali kehidupan manusia di bumi, sekaligus memberikan pelajaran mendalam mengenai kehendak Ilahi, kesadaran diri, dan potensi taubat. Dua ayat kunci, yaitu ayat 37 dan 28, memberikan perspektif yang kaya tentang perjalanan spiritual manusia dari awal penciptaan hingga akhir hayat. Ayat 37, yang mengisahkan tentang diterimanya taubat Adam, menjadi mercusuar harapan bagi setiap insan yang menyadari kesalahannya. Ini menunjukkan bahwa tidak ada manusia yang luput dari kekhilafan, namun pintu taubat selalu terbuka lebar bagi mereka yang tulus memohon ampunan.
Penerimaan taubat Adam bukanlah sekadar cerita historis, melainkan sebuah ajaran abadi bahwa Allah SWT Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Sifat ini menjadi pondasi keyakinan yang kuat bahwa setiap kesalahan, sekecil apapun, dapat diampuni asalkan disertai dengan penyesalan yang mendalam dan tekad untuk tidak mengulanginya. Kalimat-kalimat yang diterima Adam dari Tuhannya dapat diartikan sebagai petunjuk, ajaran, atau bahkan firman yang membimbingnya untuk mengenali kesalahannya dan cara untuk kembali kepada fitrahnya. Ini menyoroti pentingnya komunikasi dan hubungan vertikal antara hamba dan Sang Pencipta, di mana interaksi ini senantiasa diarahkan pada perbaikan diri dan penyucian jiwa.
Selanjutnya, ayat 28 Surah Al-Baqarah mengajak kita merenungkan hakikat kehidupan itu sendiri. Pertanyaan retoris yang diajukan, "Bagaimanakah kamu (hai orang-orang kafir) akan mengingkari Allah, padahal kamu (sebelumnya) mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada-Nya?" menyentuh inti dari keberadaan kita. Ayat ini mengingatkan bahwa kita berasal dari ketiadaan (mati), diberikan kehidupan oleh Allah, dan pada akhirnya akan kembali kepada-Nya untuk pertanggungjawaban. Siklus ini, dari 'mati' ke 'hidup' lalu kembali 'mati' (dalam arti duniawi) dan kemudian dibangkitkan kembali, adalah bukti nyata kekuasaan Allah yang tak terbantahkan.
Memahami siklus kehidupan ini semestinya menumbuhkan rasa syukur yang mendalam dan ketundukan yang tulus kepada Allah SWT. Mengingkari Allah setelah mengalami bukti-bukti kebesaran-Nya ini adalah bentuk kekufuran yang mendalam. Ayat ini juga secara implisit menegaskan konsep kebangkitan setelah kematian (hari kiamat), sebuah pilar keimanan yang krusial. Dengan demikian, perenungan terhadap keluaran 37 dan keluaran 28 dari Surah Al-Baqarah memberikan dua sisi mata uang yang saling melengkapi: satu sisi adalah pengingat akan kerentanan manusia dan pentingnya taubat, sementara sisi lainnya adalah bukti nyata kekuasaan Allah dan kepastian akan kehidupan akhirat. Keduanya membentuk fondasi bagi seorang Muslim untuk menjalani hidup dengan penuh kesadaran, rasa syukur, dan harapan.
Setiap individu diberi kemampuan untuk merenungkan asal-usulnya dan tujuan hidupnya. Kisah Adam yang bertaubat dan pengingat akan siklus kehidupan menjadi pelajaran berharga yang dapat membimbing langkah kita. Dengan terus memohon ampunan dan menyadari kekuasaan Sang Pencipta, kita dapat menjalani kehidupan ini dengan lebih bermakna, menuju kembali kepada-Nya dalam keadaan yang diridhai.