"Sebab Rasul berkata: Janganlah engkau memfitnah pemimpin bangsamu."
Dalam perjalanan pelayanan yang penuh tantangan, Rasul Paulus sering kali menghadapi situasi yang rumit dan penuh intrik. Salah satu momen yang terekam dalam Kitab Kisah Para Rasul pasal 23, ayat 5, menunjukkan sikapnya yang bijaksana dan taat pada prinsip kebenaran, bahkan ketika dihadapkan pada penentangan. Kejadian ini terjadi di Yerusalem, di hadapan Mahkamah Agama Yahudi, Sanhedrin.
Paulus, yang baru saja dibebaskan dari tuduhan yang tidak berdasar, dipanggil menghadap Sanhedrin. Di tengah ketegangan yang mencekam, ia memberikan kesaksiannya. Namun, sebelum ia dapat menjelaskan lebih lanjut mengenai panggilannya dan kepercayaannya, Imam Besar Ananias memerintahkan agar ia ditampar di mulut. Reaksi Paulus terhadap perintah ini sangatlah kuat, namun bukan dalam arti membalas dengan kekerasan.
Dengan tegas, Paulus berseru, "Sebab Rasul berkata: Janganlah engkau memfitnah pemimpin bangsamu." Pernyataannya ini tidak hanya menunjukkan keberaniannya untuk membela diri, tetapi juga pemahamannya yang mendalam tentang hukum dan tradisi Yahudi. Ia merujuk pada prinsip yang tertanam kuat dalam ajaran Taurat, yang menekankan pentingnya menghormati otoritas, bahkan ketika otoritas tersebut bertindak tidak adil. Ayat yang mungkin dirujuk oleh Paulus adalah Keluaran 22:28, yang berbunyi, "Janganlah engkau mengutuk Allah, dan janganlah engkau mengutuk pemimpin kaummu."
Meskipun Paulus sedang diperlakukan dengan tidak pantas dan dengan cara yang melanggar hukum, ia memilih untuk merespons dengan mengutip sebuah kebenaran moral dan spiritual. Ia tidak membalas dengan kata-kata kasar atau fitnah, melainkan mengingatkan para pemimpin Yahudi akan prinsip penghormatan terhadap sesama pemimpin dan otoritas mereka sendiri. Ini adalah sebuah tindakan yang penuh hikmat, menunjukkan bahwa bahkan dalam keadaan terdesak, ia memegang teguh ajaran Kristus dan prinsip-prinsip hukum ilahi.
Kisah ini mengajarkan kita banyak hal. Pertama, pentingnya menjaga perkataan, terutama dalam situasi konflik. Memfitnah atau berkata buruk tentang orang lain, apalagi pemimpin, adalah perbuatan yang dilarang. Kedua, kisah ini menyoroti keberanian Rasul Paulus dalam membela kebenaran dan prinsip moral. Ia tidak takut untuk mengingatkan para pemuka agama akan kewajiban mereka, meskipun itu berisiko. Ketiga, sikap Paulus adalah contoh bagaimana kita seharusnya merespons ketidakadilan: dengan hikmat, kejujuran, dan kesetiaan pada ajaran ilahi, bukan dengan kemarahan yang membabi buta. Kesaksian Paulus di hadapan Sanhedrin, meskipun penuh perlawanan, tetap menjadi bukti kuat imannya dan integritasnya.