"Dan kami mencoba mendakwa Dia menurut hukum kami." (Kisah Para Rasul 24:6)
Ayat ini, meskipun singkat, menyimpan kedalaman makna tentang bagaimana sebuah proses hukum yang seharusnya ditegakkan berdasarkan keadilan, justru menjadi arena permainan kuasa dan kebohongan. Dalam konteks Kisah Para Rasul pasal 24, kita menyaksikan persidangan rasul Paulus di hadapan prokurator Romawi, Feliks. Tuduhan yang dilayangkan oleh para pemimpin Yahudi begitu serius, namun di balik retorika mereka, terselip niat yang jauh dari mencari kebenaran.
Kutipan "Dan kami mencoba mendakwa Dia menurut hukum kami" yang diucapkan oleh Tetulus, seorang orator yang ditunjuk untuk menyampaikan tuduhan, secara sekilas terdengar seperti klaim integritas hukum. Mereka seolah-olah bersikeras bahwa tindakan mereka terhadap Paulus didasarkan pada otoritas dan prinsip-prinsip hukum Yahudi yang sakral. Namun, jika kita melihat keseluruhan narasi dalam pasal ini, klaim tersebut menjadi ironis. Paulus sendiri berulang kali menyatakan bahwa ia tidak bersalah dan tidak melanggar hukum Taurat, hukum Bait Suci, maupun Kaisar. Pernyataannya ini menantang tuduhan yang dibuat oleh para penuduhnya.
Apa yang membuat ayat ini begitu signifikan adalah bagaimana ia menyoroti perbedaan fundamental antara niat yang tulus untuk menegakkan kebenaran dan penggunaan hukum sebagai alat untuk tujuan lain. Para penuduh Paulus tidak benar-benar peduli dengan pelanggaran hukum. Tujuan utama mereka adalah membungkam Paulus, menghentikan penyebaran ajaran yang mereka anggap sesat, dan mempertahankan status quo serta otoritas mereka. Hawa nafsu politik dan dendam pribadi tampaknya lebih menggerakkan mereka daripada dorongan untuk menegakkan keadilan.
Proses persidangan yang digambarkan dalam Kisah Para Rasul 24 mengungkap sisi gelap dari bagaimana sebuah sistem hukum bisa disalahgunakan. Alih-alih menerapkan hukum secara objektif, para penuduh justru berusaha memanipulasi situasi. Mereka menggunakan bahasa hukum, tetapi isi dari dakwaan mereka seringkali kabur, dilebih-lebihkan, atau bahkan tidak berdasar. Mereka menuntut agar Paulus diadili di bawah hukum mereka, namun pada kenyataannya, mereka telah gagal membuktikan tuduhan mereka di hadapan Feliks, yang memiliki kewenangan untuk menafsirkannya.
Kisah ini memberikan pelajaran berharga bagi kita. Di mana pun kita berada, baik dalam lingkup personal, sosial, maupun profesional, kita akan selalu berhadapan dengan situasi di mana kejujuran dan integritas diuji. Terkadang, argumen yang terdengar logis dan berlandaskan aturan justru menyembunyikan niat yang tidak murni. Penting bagi kita untuk tidak hanya mendengarkan kata-kata, tetapi juga mengamati tindakan dan motif di baliknya. Menguji segala sesuatu berdasarkan kebenaran dan keadilan, bukan sekadar kepatuhan terhadap formalitas hukum atau keinginan sekelompok orang, adalah prinsip yang patut kita pegang teguh.
Kisah Rasul 24:6 mengingatkan kita bahwa keadilan yang sebenarnya tidak bisa dipaksakan atau dimanipulasi. Ia harus berdiri tegak atas dasar kebenaran yang tak tergoyahkan. Sikap Paulus yang tetap tenang dan berani dalam menghadapi tuduhan tersebut, serta keyakinannya pada kebenaran yang ia pegang, menjadi inspirasi bagi kita untuk terus berjuang demi integritas dan keadilan dalam setiap aspek kehidupan kita.