"Celakalah kamu, orang Farisi, sebab kamu suka duduk di tempat terhormat di rumah ibadat dan suka menerima penghormatan di pasar-pasar."
Ayat Lukas 11:43 ini merupakan salah satu teguran keras Yesus Kristus kepada kaum Farisi pada masanya. Perkataan Yesus ini bukan sekadar keluhan personal, melainkan sebuah kritik tajam terhadap mentalitas dan prioritas yang ditunjukkan oleh segolongan pemimpin agama pada masa itu. Kata "celakalah" dalam konteks alkitabiah seringkali bukan berarti kutukan semata, tetapi peringatan serius mengenai konsekuensi dari tindakan dan sikap yang salah di hadapan Tuhan.
Fokus utama dari teguran ini adalah kecintaan kaum Farisi untuk duduk di tempat terhormat di rumah ibadat dan menerima penghormatan di pasar-pasar. Hal ini menggambarkan sebuah pola perilaku yang mendahulukan pengakuan dan status sosial di atas integritas rohani dan pelayanan yang tulus. Rumah ibadat, tempat suci untuk beribadah dan belajar Firman Tuhan, seharusnya menjadi pusat kerendahan hati dan pengabdian. Namun, bagi sebagian kaum Farisi, tempat itu justru menjadi panggung untuk menampilkan diri dan meraih prestise. Demikian pula, pasar-pasar, tempat orang banyak berkumpul, menjadi arena untuk mencari sanjungan dan pengakuan dari sesama.
Perilaku seperti ini sangat bertentangan dengan ajaran inti Kerajaan Allah yang diajarkan oleh Yesus, yang menekankan kerendahan hati, pelayanan, dan kasih. Yesus seringkali mengingatkan para murid-Nya untuk tidak mencari kekuasaan atau kedudukan tinggi, melainkan menjadi pelayan bagi sesama. Kehausan akan penghormatan dari manusia cenderung mengaburkan pandangan seseorang terhadap kebenaran dan keadilan yang sejati. Ketika motivasi seseorang adalah untuk dihargai oleh manusia, maka ia akan lebih mudah berkompromi dengan kebenaran demi menjaga citra diri.
Dalam konteks yang lebih luas, teguran ini juga relevan bagi kita di masa kini. Seringkali tanpa kita sadari, kita bisa terperangkap dalam keinginan untuk mencari pengakuan dari orang lain, baik dalam lingkup profesional, sosial, maupun rohani. Keinginan untuk dianggap hebat, benar, atau memiliki kedudukan penting dapat mengalahkan dorongan untuk berbuat baik dengan tulus, melayani tanpa pamrih, atau bahkan mengakui kesalahan diri.
Menghadapi teguran ini, kita diajak untuk melakukan introspeksi diri. Di manakah hati kita tertuju? Apakah kita lebih mengutamakan pandangan dan pujian manusia, ataukah kita lebih berfokus pada apa yang berkenan di hadapan Tuhan? Mengedepankan kebenaran dan keadilan, serta menjalani hidup dengan kerendahan hati, adalah pondasi yang kokoh. Sejati, kebaikan dan pelayanan yang dilakukan bukan untuk dipuji, melainkan karena dorongan hati yang tulus untuk mengasihi Tuhan dan sesama, akan mendatangkan berkat yang jauh lebih besar dan kekal.