Ayat Lukas 11:48 ini merupakan bagian dari perkataan Yesus kepada orang-orang Farisi dan ahli Taurat, sebuah ungkapan yang tajam namun penuh kebenaran ilahi. Dalam konteks Injil Lukas, Yesus sering kali mengkritik kemunafikan dan ketidakmampuan para pemimpin agama pada masa itu untuk memahami kedatangan Kerajaan Allah. Ayat ini menyoroti sebuah paradoks yang mengerikan: mereka yang mengaku sebagai pewaris tradisi saleh, bahkan membangun monumen untuk para nabi yang dihormati leluhur mereka, justru memiliki hati yang keras dan menolak kebenaran yang diucapkan oleh Sang Mesias sendiri.
Yesus tidak hanya mengkritik tindakan luar, seperti membangun dan menghiasi makam, tetapi juga menyoroti "perbuatan" mereka yang menunjukkan "ketidakberiman". Ini menyiratkan bahwa kesalehan lahiriah tanpa kebenaran batin adalah sia-sia. Mereka membangun monumen untuk menutupi dosa leluhur mereka, seolah-olah dengan demikian mereka membebaskan diri dari keterlibatan moral. Namun, Yesus dengan tegas menyatakan bahwa mereka sendiri adalah bagian dari rantai dosa itu. Dengan mengakui bahwa mereka adalah "anak-anak orang-orang yang membunuh nabi-nabi itu," Yesus menyiratkan bahwa semangat pembunuhan terhadap kebenaran dan utusan Tuhan masih bersemayam dalam diri mereka.
Perkataan ini sangat relevan bagi kita di zaman modern. Seringkali, kita juga cenderung menampilkan kesalehan lahiriah. Kita mungkin rajin beribadah, aktif dalam kegiatan keagamaan, atau bahkan membangun dan merawat tempat ibadah. Namun, apakah hati kita benar-benar terarah kepada Tuhan? Apakah perbuatan kita mencerminkan iman yang hidup dan sejati? Ayat Lukas 11:48 mengingatkan kita untuk introspeksi diri. Membangun atau menghiasi makam para nabi, dalam arti simbolis, bisa berarti mengenang atau menghormati para tokoh rohani di masa lalu. Namun, jika penghormatan itu hanya bersifat luaran, tanpa menghidupi ajaran dan kebenaran yang mereka bawa, maka itu adalah kemunafikan. Kita bisa saja bangga dengan sejarah keagamaan kita, tetapi jika kita menolak kebenaran yang hadir di hadapan kita, kita sebenarnya mengulangi kesalahan leluhur kita.
Inti dari ayat ini adalah ajakan untuk beriman secara tulus. Ketidakberiman bukan hanya tentang tidak percaya, tetapi juga tentang menolak kebenaran meskipun telah diperlihatkan dengan jelas. Yesus adalah kebenaran itu sendiri. Menolak-Nya, menolak perkataan-Nya, menolak karya-Nya, berarti menunjukkan ketidakberiman yang mendalam, sama seperti yang ditunjukkan oleh para pendahulu mereka. Kita perlu bertanya pada diri sendiri: apakah kita benar-benar mengikuti ajaran Kristus, ataukah kita hanya mengikuti tradisi tanpa substansi, sekadar membangun "makam" kesalehan tanpa memiliki "nabi" yang hidup dalam hati kita? Kebenaran yang diajarkan Yesus, sebagaimana tercermin dalam ayat ini, menuntut respons hati yang otentik dan perbuatan yang mencerminkan iman yang sejati.
Simbol Peringatan
Ilustrasi simbol peringatan dan introspeksi.