"Dan mereka membawa kepadanya. Lalu kata-Nya kepada mereka: "Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi hak Kaisar dan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah." Lalu heranlah mereka akan Dia."
Ayat Markus 12:16 merupakan salah satu kutipan paling terkenal dan mendalam yang diucapkan oleh Yesus Kristus. Kalimat sederhana namun sarat makna ini muncul dalam konteks di mana Yesus sedang diuji oleh para ahli Taurat dan orang-orang Farisi mengenai kewajiban membayar pajak kepada Kaisar Romawi. Pertanyaan jebakan ini dirancang untuk menjebak Yesus, baik dengan menentangnya terhadap otoritas Romawi jika Ia mengatakan tidak boleh membayar pajak, maupun dengan menentangnya terhadap hukum Yahudi jika Ia mengatakan boleh membayar pajak. Namun, jawaban Yesus tidak hanya cerdas secara taktis, tetapi juga mengungkapkan prinsip teologis yang fundamental.
Pada masa itu, Kekaisaran Romawi menduduki tanah Israel, dan penguasa Romawi, Kaisar, menuntut pajak dari penduduk setempat. Mata uang yang beredar, seperti dinar yang mereka tunjukkan kepada Yesus, memiliki gambar dan tulisan Kaisar, yang menyiratkan klaim otoritasnya atas siapa pun yang memegangnya. Yesus, dengan meminta mereka menunjukkan koin tersebut dan bertanya siapa pemilik gambar dan tulisannya, mengarahkan mereka untuk mengakui secara implisit bahwa koin itu adalah milik Kaisar.
Kemudian, dengan mengatakan, "Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi hak Kaisar," Yesus mengakui legitimasi otoritas sipil untuk meminta apa yang menjadi haknya, termasuk pajak. Ini adalah pengakuan yang pragmatis dan bijaksana terhadap realitas politik saat itu. Namun, inti dari jawaban Yesus terletak pada bagian kedua kalimatnya: "...dan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah."
Frasa "apa yang menjadi hak Allah" adalah pengingat yang kuat bahwa manusia, dan segala sesuatu yang ada, pada dasarnya adalah milik Allah. Gambar dan tulisan pada koin menunjukkan kepemilikan Kaisar atas koin itu sendiri. Namun, dalam teologi Yahudi, manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kejadian 1:26-27). Oleh karena itu, manusia secara keseluruhan—jiwa, raga, pikiran, dan hati—adalah milik Allah. Memberikan kepada Allah apa yang menjadi hak-Nya berarti menyerahkan seluruh diri kita kepada-Nya, hidup sesuai dengan kehendak-Nya, dan mengakui kedaulatan-Nya atas segala aspek kehidupan.
Yesus membedakan antara dua ranah: yang sekuler (pajak untuk Kaisar) dan yang ilahi (ketaatan dan penyerahan diri kepada Allah). Ini bukanlah pemisahan yang absolut atau dualisme yang memecah belah, melainkan sebuah pengakuan akan dua otoritas yang berbeda namun saling terkait. Otoritas sipil memiliki haknya dalam mengatur duniawi, tetapi otoritas ilahi, otoritas Allah, jauh lebih tinggi dan mencakup segalanya. Jawaban Yesus mengajarkan bahwa umat beriman harus bertanggung jawab dalam kewarganegaraan mereka, memenuhi kewajiban sipil mereka sejauh tidak bertentangan dengan perintah Allah, sambil senantiasa memprioritaskan hubungan dan ketaatan mereka kepada Tuhan.
Pernyataan Yesus dalam Markus 12:16 memiliki relevansi yang abadi bagi umat manusia. Di era modern ini, kita masih bergulat dengan hubungan antara tanggung jawab sipil dan panggilan spiritual. Ayat ini mengingatkan kita untuk tidak mencampuradukkan kedua ranah ini secara sembarangan, namun juga untuk memahami bahwa ketaatan kepada Allah seringkali mendefinisikan bagaimana kita menanggapi otoritas duniawi. Ini adalah prinsip panduan untuk hidup dengan integritas, keseimbangan, dan kesadaran akan prioritas ilahi dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam urusan pribadi, sosial, maupun politik.