"Lalu ia menyuruh seorang lagi. Orang itu dibunuh. Lalu banyak lagi yang lain; yang beberapa disesah, yang lain dibunuh."
Ayat Markus 12:5 ini, yang merupakan bagian dari perumpamaan Yesus tentang tuan tanah yang kebun anggurnya disewakan, menyajikan gambaran yang cukup keras mengenai penolakan dan kekerasan terhadap mereka yang diutus. Perumpamaan ini bukan sekadar cerita, melainkan sebuah metafora mendalam yang sarat dengan pelajaran spiritual dan teologis bagi para pendengarnya, termasuk kita di masa kini. Tuan tanah, yang melambangkan Allah, mengutus para hamba-Nya, yang di sini mewakili para nabi dan kemudian para rasul, untuk memungut hasil dari kebun anggurnya. Namun, respons para penyewa yang jahat—bangsa Israel yang menolak para utusan Allah—adalah kekerasan dan pembunuhan.
Fokus pada ayat kelima ini memberikan penekanan pada eskalasi kekejaman. Awalnya, mungkin ada penolakan, tetapi kemudian berkembang menjadi serangan fisik yang fatal. Ini menunjukkan betapa dalamnya penolakan terhadap otoritas dan kehendak Allah. Para penyewa tidak hanya menolak membayar hak tuan tanah, tetapi mereka juga menolak menerima perwakilannya. Setiap utusan yang dikirim adalah pengingat akan kepemilikan dan hak sang tuan, dan karena mereka tidak ingin mengakui hak tersebut, mereka akan menyingkirkan siapa pun yang datang membawa pesan itu. Sikap ini mencerminkan ketegaran hati manusia ketika berhadapan dengan kebenaran ilahi, terutama ketika kebenaran itu menantang kepentingan pribadi atau status quo yang tidak berkenan kepada Tuhan.
Pelajaran yang dapat diambil dari Markus 12:5 sangat relevan. Pertama, ini adalah peringatan tentang bahaya menolak kebenaran Allah. Penolakan yang berulang-ulang terhadap pesan-pesan kebenaran, baik melalui Firman Tuhan, nasihat yang membangun, maupun kesaksian orang lain, dapat membawa konsekuensi serius. Sejarah mencatat banyak individu dan masyarakat yang telah mengalami kehancuran karena secara konsisten mengabaikan suara Tuhan.
Kedua, ayat ini menyoroti ketekunan Allah dalam mengutus hamba-hamba-Nya meskipun menghadapi penolakan. Allah tidak menyerah begitu saja. Dia terus mengutus, bahkan hingga pada akhirnya Dia mengutus "anaknya yang kekasih". Ini menunjukkan kasih dan kesabaran-Nya yang luar biasa, sekaligus ketegasan-Nya dalam menuntut pertanggungjawaban. Bagi kita, ini menjadi dorongan untuk lebih peka terhadap pesan-pesan ilahi yang kita terima dan tidak mengeras hati kita.
Selanjutnya, perumpamaan ini juga mengajarkan tentang kepemilikan dan pertanggungjawaban. Kebun anggur adalah milik tuan tanah, dan para penyewa memiliki kewajiban untuk memberikan hasil. Dalam konteks spiritual, hidup kita adalah anugerah dari Tuhan, dan Dia memiliki hak penuh atas segalanya. Kita dipanggil untuk mengelola kehidupan kita, talenta kita, dan sumber daya kita untuk kemuliaan-Nya. Penolakan untuk memberikan "hasil" yang diharapkan Tuhan, baik melalui tindakan ketaatan, kasih, maupun pelayanan, adalah bentuk pengabaian amanat yang telah dipercayakan kepada kita.
Terakhir, Markus 12:5 mengingatkan kita akan pentingnya bersikap bijak dalam menafsirkan Firman Tuhan dan menerimanya. Jangan sampai ketakutan, keserakahan, atau kebanggaan membuat kita menjadi seperti para penyewa yang jahat. Sebaliknya, marilah kita menjadi hamba-hamba Tuhan yang setia, yang bersedia mendengarkan dan merespons panggilan-Nya dengan hati yang terbuka dan taat. Dengan demikian, kita dapat memberikan hasil yang baik bagi kemuliaan nama-Nya, bukan menjadi bagian dari mereka yang akhirnya menghadapi murka ilahi. Mari kita renungkan dan terapkan ajaran berharga ini dalam kehidupan sehari-hari.