Markus 2:26

"Bagaimana Ia masuk ke rumah Allah pada zaman pemerintahan raja Abiatar, dan makan roti persembahan, yang tidak boleh dimakan kecuali oleh para imam, dan bagaimana Ia memberikannya juga kepada orang-orang yang bersama-sama Dia?"

Ayat Markus 2:26 ini seringkali muncul dalam konteks perdebatan mengenai aturan dan kepatuhan terhadap hukum Taurat, terutama dalam kaitannya dengan Sabat. Yesus dan murid-murid-Nya sedang berjalan melewati ladang gandum pada hari Sabat. Murid-murid-Nya lapar dan mulai memetik bulir gandum, merontokannya dengan tangan, lalu memakannya. Perbuatan ini dianggap melanggar ketetapan Sabat oleh orang Farisi yang melihatnya.

Menanggapi tuduhan ini, Yesus tidak hanya membela tindakan murid-murid-Nya, tetapi juga memberikan pengajaran yang mendalam tentang esensi dari hukum Sabat itu sendiri. Ia menggunakan dua argumen utama: yang pertama adalah contoh Daud dalam situasi darurat, dan yang kedua adalah otoritas-Nya sebagai Anak Manusia. Ayat 26 ini merupakan bagian dari argumen kedua, di mana Yesus merujuk pada sebuah peristiwa historis yang tercatat dalam Kitab Suci, yaitu ketika Daud dan orang-orangnya, dalam keadaan kelaparan dan terdesak, memasuki rumah Allah dan memakan roti persembahan.

Peristiwa yang dirujuk Yesus ini terdapat dalam Kitab 1 Samuel pasal 21. Saat itu, Daud sedang dikejar oleh Saul dan ia bersama anak buahnya membutuhkan makanan. Mereka datang ke Nob, ke tempat kediaman imam Ahimelekh. Ahimelekh awalnya ragu memberikan roti persembahan karena roti itu diperuntukkan hanya bagi para imam. Namun, karena tidak ada makanan lain dan Daud meyakinkan bahwa ia dan anak buahnya telah menjauhkan diri dari perempuan, Ahimelekh memberikan roti itu.

Yesus menggunakan kisah ini untuk menunjukkan bahwa ada situasi di mana kepatuhan terhadap hukum, bahkan hukum yang sakral sekalipun, dapat dilampaui oleh kebutuhan mendesak dan kasih. Roti persembahan adalah benda yang sangat kudus, dipersembahkan kepada Allah dan hanya boleh dimakan oleh imam. Namun, Yesus menekankan bahwa Daud, seorang hamba yang setia, dalam keadaan terpaksa, telah melakukan tindakan yang tampaknya melanggar aturan tersebut, dan tindakan itu tidak dipersalahkan oleh Allah.

Lebih lanjut, Yesus menegaskan otoritas-Nya sendiri. Ia bukan hanya sekadar penafsir hukum, tetapi Anak Manusia yang memiliki otoritas atas Sabat. Dengan merujuk pada kisah Daud, Yesus mengajarkan bahwa hukum Sabat tidak diciptakan untuk menjadi beban, melainkan untuk memberikan kelegaan, penyembuhan, dan pengenalan akan Allah. Kasih karunia dan kebutuhan manusiawi seringkali memiliki prioritas dalam hati Allah dibandingkan kepatuhan ritual yang kaku, terutama ketika kepatuhan itu dilakukan tanpa pemahaman yang benar tentang tujuan dari ketetapan tersebut.

Pengajaran Yesus ini membuka perspektif baru tentang hukum. Ia mengajarkan bahwa hukum Allah, termasuk Sabat, memiliki inti yang berpusat pada kasih kepada Allah dan sesama. Dalam kasus ini, kebutuhan fisik murid-murid-Nya dan otoritas Yesus yang ilahi menjadi dasar pembenaran tindakan mereka. Ayat ini menjadi pengingat kuat bahwa ibadah yang sejati melibatkan hati yang mengerti kehendak Allah, bukan sekadar kepatuhan lahiriah yang tanpa jiwa.

Daud Roti Kebutuhan Kasih Karunia
Ilustrasi: Kebutuhan mendesak dan kasih karunia melampaui aturan ketat.