Matius 20:3

Dan ia keluar kira-kira pukul tiga, dan dilihatnya lagi orang-orang lain berdiam diri di pasar, tidak melakukan apa-apa.

Perumpamaan Pekerja Upahan: Sebuah Refleksi Kebenaran Ilahi

Ayat Matius 20:3, yang berasal dari perumpamaan Yesus tentang pekerja upahan, menawarkan pandangan mendalam mengenai cara kerja Kerajaan Allah yang seringkali berbeda dari cara pandang manusia. Perikop ini, yang terdapat dalam Injil Matius pasal 20, ayat 1 hingga 16, bukanlah sekadar cerita tentang pemberian upah. Ia adalah sebuah ilustrasi kuat tentang kemurahan hati Tuhan, keadilan-Nya yang unik, dan cara-Nya memandang waktu serta nilai pekerjaan. Ayat 3 secara spesifik menggambarkan momen ketika sang pemilik kebun anggur kembali ke pasar pada jam ketiga, sebuah titik waktu yang penting dalam konteks pekerjaan zaman itu.

Dalam konteks budaya Yudea saat itu, pembagian waktu kerja didasarkan pada jam-jam Romawi. Jam ketiga (kira-kira pukul 9 pagi) menandai awal hari kerja yang umum bagi banyak orang. Ketika sang tuan tanah keluar dan melihat orang-orang lain masih "berdiam diri di pasar, tidak melakukan apa-apa," ini menyiratkan bahwa mereka adalah kelompok yang belum mendapatkan pekerjaan. Mereka mungkin telah mencari pekerjaan sejak pagi tetapi belum berhasil menemukan majikan. Keberadaan mereka di pasar, tempat orang mencari tenaga kerja, menunjukkan keinginan mereka untuk bekerja dan mendapatkan nafkah. Ini adalah gambaran tentang orang-orang yang siap sedia, namun menunggu panggilan.

Menunggu Panggilan Siap Berharap

Simbolisasi orang yang menunggu kesempatan di pasar.

Fokus pada "pukul tiga" menunjukkan bahwa ada berbagai gelombang kedatangan pekerja. Para pekerja yang pertama kali diupah mungkin telah datang sejak subuh (jam pertama). Kemudian, ada gelombang berikutnya di jam ketiga, keenam, kesembilan, dan bahkan kesebelas (menjelang akhir hari). Ayat ini menyoroti bahwa tuan tanah tidak hanya memperhitungkan mereka yang bekerja seharian penuh, tetapi juga mereka yang baru saja datang dan siap untuk berkontribusi, meskipun untuk waktu yang singkat.

Keadaan "berdiam diri" dan "tidak melakukan apa-apa" bukan berarti mereka malas atau tidak produktif. Sebaliknya, itu adalah metafora bagi mereka yang berada dalam posisi pasif, menunggu kesempatan, berbeda dengan mereka yang secara aktif mencari atau telah mendapatkan pekerjaan. Dalam konteks spiritual, ini bisa diartikan sebagai orang-orang yang belum menemukan panggilan ilahi atau belum terintegrasi dalam pelayanan Kerajaan Allah. Mereka ada, memiliki potensi, namun belum terarah.

Perumpamaan ini berlanjut dengan janji upah yang sama untuk semua pekerja, terlepas dari lamanya mereka bekerja. Ini adalah titik kontroversi bagi banyak pendengar dan pembaca awal, yang cenderung berpikir berdasarkan logika keadilan manusiawi: semakin lama bekerja, semakin besar upahnya. Namun, Yesus mengajarkan tentang kemurahan hati Allah yang melampaui perhitungan matematis manusia. Ia mengingatkan kita bahwa Dia berhak melakukan apa yang Dia inginkan dengan milik-Nya, dan keadilan-Nya seringkali terwujud dalam belas kasih yang melimpah.

Matius 20:3 mengajak kita untuk merenungkan tentang bagaimana kita memandang pekerjaan dan karunia. Apakah kita cenderung menghakimi berdasarkan lamanya waktu yang dihabiskan seseorang, atau kita melihat potensi dan kesiapan mereka untuk melayani? Perumpamaan ini adalah pengingat yang menyejukkan bahwa Tuhan melihat lebih dari sekadar jam kerja; Dia melihat hati yang mau bekerja dan mempersiapkan diri. Ia memanggil setiap orang pada waktunya masing-masing, dan Dia memperhitungkan setiap kontribusi, besar maupun kecil, dengan kemurahan hati yang tak terbatas. Ini adalah kebenaran fundamental tentang kasih dan keadilan ilahi yang terus relevan hingga kini.