"Dan barangsiapa bersumpah demi Bait Allah, ia bersumpah demi Allah yang mendiaminya dan demi Dia yang mendiami Bait itu."
Refleksi tentang makna sumpah di hadapan Tuhan.
Ayat Matius 23:21, yang diucapkan oleh Yesus Kristus, merupakan bagian dari serangkaian teguran keras-Nya terhadap para ahli Taurat dan orang Farisi. Ayat ini secara spesifik menyoroti bagaimana mereka telah memutarbalikkan ajaran tentang sumpah, menciptakan aturan-aturan rumit yang justru mengaburkan esensi sejati dari sumpah itu sendiri. Yesus ingin mengingatkan bahwa setiap sumpah, terutama yang berkaitan dengan tempat suci, secara inheren mengacu pada Kehadiran ilahi.
Ketika seseorang bersumpah demi Bait Allah, Yesus menegaskan bahwa sumpah itu tidak hanya terikat pada bangunan fisik Bait Suci, tetapi lebih dalam lagi, terikat pada Allah sendiri yang berdiam di dalamnya. Ini adalah pengingat yang kuat bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan kesucian dan ibadah kepada Tuhan memiliki bobot dan implikasi ilahi yang sangat besar. Sumpah yang dibuat dengan menyebut nama Bait Allah, atau bahkan altar di dalamnya, pada dasarnya adalah pengakuan atas kekudusan Allah dan otoritas-Nya.
Dalam konteks ajaran Yesus, penekanan pada Bait Allah sebagai saksi sumpah adalah sebuah kritik tajam terhadap legalisme dangkal yang dipraktikkan oleh para pemimpin agama pada masa itu. Mereka menciptakan hierarki sumpah, di mana beberapa sumpah dianggap mengikat dan yang lain tidak, tergantung pada apa atau siapa yang disebut. Namun, Yesus membongkar kepalsuan ini dengan menyatakan bahwa semua sumpah yang benar, yang dibuat dengan niat tulus di hadapan Tuhan, memiliki konsekuensi spiritual.
Perkataan Yesus ini mengajarkan kita pentingnya kejujuran dan integritas dalam perkataan kita. Ketika kita membuat janji atau sumpah, kita seharusnya menyadari bahwa kita sedang membawa nama Tuhan ke dalam perjanjian tersebut, secara langsung maupun tidak langsung. Ini bukan berarti kita harus sering bersumpah, melainkan setiap kali kita berbicara dengan keyakinan dan kesungguhan yang mengikat, kita seharusnya melakukannya dengan penuh kesadaran akan hadirat Tuhan.
Yesus secara konsisten mengajarkan bahwa hati yang tulus adalah kunci utama. Sumpah yang diucapkan dengan lidah tetapi tanpa komitmen hati yang sesungguhnya adalah kemunafikan. Ketiga puluh pasal dari Injil Matius ini sering kali menampilkan Yesus yang mengajarkan tentang keseriusan dalam mengikuti kehendak Tuhan, yang melampaui sekadar kepatuhan pada ritual atau aturan luar. Sumpah demi Bait Allah adalah contoh bagaimana Yesus kembali ke inti kebenaran: segala sesuatu yang menyentuh Tuhan, pada akhirnya, adalah tentang hubungan kita dengan Dia.
Oleh karena itu, ayat ini mengundang kita untuk merenungkan bagaimana kita menggunakan perkataan kita. Apakah perkataan kita mencerminkan kejujuran dan integritas di hadapan Allah? Apakah kita memahami bobot dari setiap janji yang kita buat, terutama yang berkaitan dengan hal-hal rohani atau yang kita ikrarkan di hadapan Tuhan? Matius 23:21 adalah pengingat kekal bahwa Allah melihat hati, dan setiap sumpah adalah perjanjian yang mengikat secara spiritual, menegaskan keagungan dan otoritas-Nya yang tak terbantahkan.